11. Jatuh

40 7 0
                                    

Sebuah pesan yang menandakan lokasi baru saja kuterima dari nomor Anton. Aku segera bersiap dan beranjak ke luar, mendapati Mas Wibi sedang minum kopi di depan televisi. Ia menoleh ke arahku dengan rambutnya yang setengah berantakan, sepertinya ia baru saja bangun hari ini, tumben sedikit lebih siang dari biasanya.

"Mau ke mana?" tanyanya dengan mata yang membulat.

"Aku mau ketemu temen dulu," jawabku. Ia mengangguk sambil menyesap kopinya perlahan.

"Mau dianter gak?" ujarnya lagi setengah berteriak saat aku mengenakan sepatu di depan pintu.

"Gak usah, Mas. Makasih. Aku gak akan lama!"

Aku segera berlari saat keluar dari lift menuju tempat parkir dan memacu mobil menuju tempat yang dimaksud Anton, sebuah restoran yang tak begitu ramai di pinggir kota. Ia mungkin tak mau berada di tempat ramai karena orang-orang debt kolektor itu masih mencarinya. Aku sangat mengenali sosoknya yang duduk di dekat jendela, lengkap dengan topi dan masker yang menutupi wajahnya.

Ia mengangkat wajah saat melihatku duduk tepat di kursi yang berada di seberang mejanya. Rambutnya tampak sedikit lebih panjang dari terakhir kali kami bertemu. Matanya sayu, jari-jari tangannya tak mau diam seolah sedang dikejar sesuatu.

"Sejak kapan kamu ada di Jakarta?" tanyaku membuka percakapan di antara kami berdua.

"Seminggu yang lalu. Kamu baik-baik aja, kan?" Ia meraih tanganku yang berada di atas meja lantas menggenggamnya. Aku segera menepis sambil menahan tawa. Bisa-bisanya ia bertanya apakah aku baik-baik saja, setelah menghilang dua bulan penuh.

"Aku minta maaf udah jual mobil kamu. Aku kena tipu temenku dan semua bisnis yang udah kuinvestasiin gagal semua. Aku kehilangan semua uangku, uang kita untuk menikah. Uang hasil jual mobil kupake buat kabur ke luar negeri karena kalau masih di sini, mereka bakal tangkap aku dan jeblosin aku ke penjara. Sayang, kamu ngerti kan?"

"Aku gak akan pernah bisa ngerti alesan kamu tinggalin aku sebelum kita menikah."

"Itu dia! Aku gak mau bawa-bawa kamu dalam masalah aku, makanya aku terpaksa kabur!"

Alisku terangkat. Jelas-jelas ia menjadikanku penjamin untuk uang yang dia pinjam. Entah berapa lama dan berapa banyak hingga sekarang sudah berbunga sebesar itu.

"Aku janji, bentar lagi aku bakal selesain ini semua dan kita bisa nikah. Kamu bisa nunggu aku kan, Sayang?"

"Maaf, aku udah nikah sama orang lain."

Anton melihat ke arah cincin yang melingkar di tanganku, ia kemudian memukul meja cukup keras. "Jadi bener?" tanyanya sambil mencengkeram pergelangan tanganku. Ia tak pernah sekasar ini sebelumnya. "Jadi bener kabar kamu nikah sama pengacara itu?"

Jadi dia sudah mendengar kabar pernikahanku? Apakah selama ini dia ada di sekitarku? "Lepasin!" ujarku sambil mencoba melepaskan cengkeraman tangan Anton.

Ia melunak, punggungnya tak setegang tadi dan wajahnya mendekat ke telingaku. "Kamu masih bisa lari! Aku bisa bantu kamu lari, tunggu aja!" bisiknya dan membuatku berpikir keras. Lari dari apa? Apa yang dia maksud?

Aku meraih gelas air di hadapannya dan langsung menyiramkan isinya ke wajah Anton. Satu lagi, aku ingin sekali menamparnya dan akhirnya bisa kurealisasikan hal itu hari ini. Ia tampak terkejut dan langsung memegangi pipi kirinya yang baru saja terkena ucapan salam cukup kencang dari telapak tanganku. Dua atau tiga orang pengunjung di sini sontak menoleh ke arah kami.

"Kamu ... minta maaf seribu kali juga gak akan aku maafin," gumamku dan membuat matanya memerah menatapku. "Aku tulus sayang sama kamu, tapi yang kamu kasih ke aku cuma kesialan. Ada cara yang jauh lebih baik buat hadapin masalah kalau kamu bener-bener sayang juga sama aku waktu itu. Toh aku gak pernah keberatan bantu kamu dalam hal apapun. Tapi apa balesan kamu? Sekarang kamu minta aku buat nunggu? Nunggu apa? Nunggu kamu bikin aku menderita lagi?"

FatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang