Wibi-02

62 7 5
                                    


Saya pikir hubungan saya bersama Wanda selama tiga tahun akan sangat sulit saya lupakan setelah pengkhianatannya waktu itu. Bagaimana pun saya pernah berniat menjadikan dia satu-satunya orang yang akan menemani saya seumur hidup. Namun ternyata kekecewaan membuat saya melupakannya lebih cepat. Lagipula Wanda sudah bahagia bersama Chiko dan hanya buang-buang waktu untuk saya jika menangisinya.

Setelah mengantar orang tua dan sanak saudara Alesha, saya masih harus menemani keluarga besar saya berbincang hingga tengah malam di kediaman Oppung. Mereka tampak masih bersemangat dan ikut berbahagia karena Oppung akhirnya menggelar pesta pernikahan cucunya yang sangat beliau nanti-nantikan. Bersyukur, mereka juga menyambut Alesha dengan hangat sebagai salah satu anggota keluarga kami.

Sosoknya tampak sudah tertidur lelap di kamar tempat saya tinggal dulu, dia pasti sangat kelelahan. Saya mengambil selimut yang terjatuh dan kembali memakaikan benda itu, namun tak menunggu waktu lama hingga selimut itu kembali terjatuh ke lantai. Gaya tidurnya membuat saya teringat pada Bang Bram saat kami staycation dulu. Menguasai tempat tidur seutuhnya. Saya mati-matian menahan tawa lalu memilih untuk duduk di salah satu sisi tempat tidur sejenak, melihat orang yang sudah saya beri sumpah di hadapan Tuhan untuk selalu menjadi penjaganya.

Helai-helai rambutnya sedikit menutupi wajah polos itu. Gadis itu juga memiliki hidung yang mancung dan senyum yang manis. Saya masih ingat saat pertama kali melihat senyumnya di depan stand jeruk tempo hari. Lalu tiba-tiba saja ada gemuruh aneh yang saya rasakan hanya karena menatapnya selama sepuluh menit di sini.

*

Kami berdua baru saja sampai di hotel setelah melewati perjalanan panjang menuju destinasi bulan madu kami. Badan saya yang pegal karena tidur di lantai semalaman membuat saya ingin segera merebahkan diri di tempat yang sedikit lebih nyaman seperti sofa hotel ini.

"Saya tidur di sini," gumam saya sambil memejamkan mata. Saya tidak begitu ingat apa yang dia bilang waktu itu karena tak terasa saya segera masuk ke alam mimpi dan tiba-tiba saja terbangun kala mendengar suara pintu hotel tertutup.

Saya melihat ke arah jam yang melingkar di tangan, ternyata sudah hampir satu jam saya tertidur. Apakah mungkin Alesha keluar karena bosan dan tak ada yang menemaninya mengobrol? Segera beranjak, saya berjalan untuk mandi dan berganti baju lalu menemukan sebuah catatan bahwa gadis itu ingin berjalan-jalan di sekitaran hotel.

Cuaca di luar terasa hangat, bisa ditebak dia mungkin membeli sesuatu yang dingin atau manis di luar sana. Benar saja, setelah berputar-putar cukup lama di sekitaran hotel, saya mendapatinya berdiri di depan poster sebuah konser band. Matanya tampak sedih, dia mungkin ingin sekali datang ke sana.

Ia berbalik dan tampak terkejut melihat saya. "Kok tau aku di sini?" tanyanya.

"Saya kebangun waktu kamu tutup pintu tadi. Terus saya susul, takut kamu nyasar. Tapi kayaknya nggak akan, ya?" Sebetulnya saya sedikit kikuk mencari alasan untuk yang satu ini. Alesha tersenyum, dan jantung saya kembali berdegup kencang. Wah, apakah saya harus periksa ke dokter setelah ini?

"Oh! Mereka manggung di sini?"

"Mas Wibi dengerin mereka juga?"

Saya mengangguk cepat. Mungkinkah selera musik kami juga sama? Yang saya tahu, ia sangat suka mendengarkan musik. Saya berjalan mendekat dan melihat tanggal konser. "Masih besok," gumam saya.

"Tapi kayaknya udah sold out deh, Mas."

"Saya telepon Bang Sagara dulu."

"Bang Sagara buka jastip tiket kah?" tanyanya polos dan membuat saya tak mampu menahan tawa. Bisa-bisanya kepikiran Bang Sagara buka jastip tiket.

FatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang