14. Promise

67 8 2
                                    


"Mau ketemu Mas Wibi?" tanyaku sambil membuka pintu lebar-lebar dan menunjuk ke dalam di hadapan pria-pria yang mengenakan baju santai itu.

Mereka saling bertatapan dengan kikuk. "Hai Alesha, uh, kalau boleh?" tanya Bang Sagara dan Bang Bram yang hanya tersenyum lebar di sebelah kanannya.

"Masuk Abang-Abang, aku panggilin dulu, ya!" ujarku hingga satu per satu dari mereka masuk dan duduk dengan canggung di ruang tamu.

Aku berdiri di depan pintu kamar Mas Wibi dan hendak mengetuk pintunya, tapi bukankah akan membuat mereka curiga kalau begitu? Mau tidak mau aku langsung masuk dan menutup pintu kembali, mendapati Mas Wibi benar-benar masih tertidur dengan dua tangan terangkat ke atas dan selimut yang menutup hampir seluruh badannya. Aku duduk di sisi tempat tidur hingga membuat ia terlonjak, ah benar, ia mudah terbangun.

"Umh! Alesha? Apa aku mimpi?" gumamnya sambil mengulat dari dalam selimut dan meringkuk menghadapku.

"Mas," panggilku pelan dan menepuk bagian lengannya beberapa kali. Ia sontak membuka mata dan beranjak duduk sambil menyipitkan mata menatapku. "Ada temen-temen Mas Wibi," tambahku.

"Temen-temen?" ujarnya sambil mengerutkan alis. Rambut aslinya yang sedikit bergelombang tampak bergerak halus saat ia memiringkan wajah. "Aku gak ada janji sama mereka."

"Tapi mereka udah duduk di ruang tamu."

Mas Wibi mengusap wajah lalu mengambil ponselnya, ia tampak mengumpat sangat pelan –kalau aku tidak salah dengar--. "Gak apa-apa mereka main ke sini?" tanya lelaki itu sambil kembali menoleh ke arahku.

"Loh, ya gak apa-apa."

"Mereka berisik, takut kamu gak nyaman. Nanti aku usir mereka."

Aku menahan tawa mendengarnya. "Kasian mereka dateng jauh-jauh ke sini. Mas siap-siap, aku bikini mereka minum sama cemilan sambil nunggu."

Ia mengangguk lalu tersenyum lembut dengan mata yang masih menyipit. Entah jam berapa ia tidur tadi malam. Aku masih ingat pesan yang ia kirimkan bahkan jam setengah dua dini hari, padahal kami hanya terhalang dinding saja.

"Kamu wangi banget," gumamnya lalu mengendus ke arahku dan berakhir mengecup dahiku singkat. Astaga, aku belum terbiasa tapi sungguh membuat Minggu pagiku terasa jauh lebih baik. "Kalau kamu capek gak apa-apa, gak usah nyiapin apa-apa biar nanti aku aja," tambahnya sambil beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi.

Aku melihat sekitar dengan seksama, kamar Mas Wibi ternyata sesuai dengan ekspektasi. Tidak terlalu rapi, juga menggunakan wallpaper yang cukup ramai dan khas cowok. Beberapa baju digantung sembarang, tak lupa ada sebuah keyboard di dekat beranda. Ah, kamarku tidak ada berandanya, hanya ada satu buah jendela yang cukup besar dengan gorden berwarna kelabu.

Beberapa foto masa kecil juga foto pernikahan kami berukuran kecil terpajang di atas meja kerja. Mas Wibi ukuran sachet lebih lucu lagi ternyata, sepertinya ini saat dia berusia sekitar tiga atau empat tahun. Ada pula foto-foto yang dipajang di dinding sampingnya, foto-foto ia saat remaja bersama teman-temannya yang datang baru saja. Ini pemandangan baru, bagaimana mereka kini benar-benar terlihat sangat matang dan dewasa, berbeda dengan mereka yang berada di dalam foto dengan penampilan khas anak band. Rambut yang diwarnai, beberapa tindik, juga skinny jeans berlubang sana sini.

Aku segera beranjak ke luar setelah mendengar suara air hampir berhenti dan segera menuju dapur. Terdengar suara orang-orang itu masih berbincang dan tertawa di depan sana. Kalau tidak salah, Bang Saga dan Bang Bram tampak menggendong tas gitar di pundak mereka tadi.

"Baru bangun anying dia mah!" seru David saat Mas Wibi baru saja ke luar kamar dengan penampilan yang segar.

"Kalian ngapain ke sini? Eh, libur lu, Ngab?" Mas Wibi tampak memeluk Bang Jean saat aku menghampiri lalu menghidangkan minuman dan makanan di atas meja.

FatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang