15. Acceptance

59 8 0
                                    


"Minggu depan aku cuti, ya!" ujarku pada Dita sambil membereskan barang-barang sebelum pulang.

"Adek lu nikah itu, ya?" tanyanya yang dibalas anggukkan olehku. "Gue diundang, gak?"

"Kan yang nikah adekku."

Dita memasang wajah sedih sambil merengut, membuatku sontak tertawa.

"Dateng aja, sih! Tamu aku, kan? Nanti biar aku yang kasih makan."

Ia tergelak sambil mendorongku pelan. Kami lalu turun menuju lobby dan sosok Mas Wibi tampak sudah menunggu di parkiran depan. Security bahkan sudah sangat mengenalnya saking seringnya ia datang. Ia tersenyum senang saat melihatku lalu melambaikan tangan.

"Pak Arya tuh bukan brondong, kan?" bisik Dita tiba-tiba.

"Bukan, kenapa emang?"

"Kok kayak lucu gitu, kayak bocah."

Aku langsung menutup mulut Dita dengan jariku. "Gak boleh gemesin, cuma aku yang boleh!"

Ia lalu menepis tanganku sambil tertawa. "Dih, bini posesif! Gue masih gak percaya lu bisa gemesin laki lu kayak gini. Lelaki gemes tuh bukan tipe lu, Alesha!"

"Lupain tipe Alesha yang dulu. Dia dulu cewek bego soalnya."

Dita lalu memelukku gemas, lebih ke headlock sih tepatnya. "Gue seneng lu bahagia!" ujarnya tepat di telinga yang membuatku langsung meronta untuk melepaskan kedua lengannya.

"Dita!" sapa Mas Wibi pelan sedangkan Dita hanya melambaikan tangannya ke arah kami sambil setengah berlari menghampiri sang kekasih yang sudah menjemputnya di pinggir jalan.

Kami berdua lalu masuk ke dalam mobil dan Mas Wibi terdiam untuk beberapa saat hingga membuatku merasa tak nyaman. Ia mengetuk-ngetukkan jari di atas setir lalu menoleh ke arahku seolah ingin mengatakan sesuatu. Aku mengangkat alis, namun ia juga tak kunjung bicara dan memilih menyalakan mesin mobil hingga melaju.

"Kenapa Mas?" tanyaku ragu.

"Sha, maaf, ya," gumamnya. "Aku ngilangin cincin nikah kita."

"Hah?"

"Aku inget tadi pagi masih ada kok! Trus tadi seharian abis bantuin asistenku beres-beres berkas. Tapi udah kucari di sana gak ketemu. Udah titip pesan juga sama cleaning service minta dicariin atau ngabarin kalau ketemu. Gimana dong?" tanyanya sambil menoleh ke arahku dengan wajah sedih. Bibirnya mengerucut lalu membentuk garis melengkung ke bawah.

Aku menahan tawa karena melihat ekspresinya dan berpura-pura untuk marah. "Di mobil udah dicek?" tanyaku. Ia mengangguk cepat.

"Coba inget-inget lagi tadi Mas Wibi ngapain aja dan ke mana."

"Nggak jauh-jauh kok, seharian tadi beneran di ruangan sama gudang aja."

"Yaudah, kan di kantor tadi udah titip sama cleaning service. Nanti kita cari juga di rumah."

Aku tiba-tiba saja teringat pernah menceramahi Anna dulu karena ia menghilangkan ponselnya. Anna bilang aku seperti nenek lampir yang kesurupan genderuwo kala marah. Bagaimana tidak, waktu itu aku geram sekali karena kupikir tidak masuk akal gadis berusia enam belas tahun lupa menaruh ponselnya padahal hampir dua puluh empat jam ia memegang benda itu. Sedangkan saat ini di hadapanku ada seorang pria berusia hampir tiga puluh tahun kehilangan benda yang tak pernah lepas dari jarinya namun hanya dengan melihat wajahnya membuatku tak jadi marah.

Kira-kira pelet apa yang dia pakai, ya?

"Ada?" tanyaku padanya yang kini mencari di kolong tempat tidur sedangkan aku berjongkok sambil melihat-lihat sudut kamar Mas Wibi.

FatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang