9. Rapuh

49 6 0
                                    

Aku membuka pintu kemudi mobil dan duduk di kursi kemudi, sementara Mas Wibi sedang beristirahat di dalam rumah. Satu per satu benda di dalam mobil kuperiksa, bersyukur tak ada yang kurang satu pun. Aku menghela napas dan bersandar lemah lalu mulai memikirkan segala hal yang telah terjadi. Tanganku bersandar ke console box dan teringat tempat itu satu-satunya yang belum kulihat. Di dalamnya terdapat satu lembar kertas yang menyembul tepat setelah aku membukanya. Jari-jariku sedikit gemetar setelah menyadari bahwa itu tampak seperti tulisan tangan Anton.

Alesha sayang, kalau suatu hari kamu temuin surat ini. Aku mau minta maaf karena aku terpaksa pergi. Aku ditipu temenku dan gak tau harus gimana lagi. Aku janji bakal balik lagi ke kamu setelah beresin semuanya. Gimana pun, kita udah janji buat menikah, kan?

Aku memejamkan mata karena genangan air di sana sudah tak mampu dibendung lagi. Aku tak tahu harus bagaimana menanggapi surat ini. Satu sisi aku sangat marah setelah semua yang dia lakukan padaku. Sedangkan di sisi lain, masih ada satu titik di hatiku yang berharap dia benar-benar kembali. Lalu kalau nanti dia kembali, mungkinkah aku akan menerimanya lagi? Memaafkan semuanya begitu saja?

Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari samping jendela mobil dan kulihat Mas Wibi sedang berdiri di sana dengan wajah khawatir. Mungkin karena aku sudah cukup lama berada di sini. Aku buru-buru menghapus air mata, memasukkan kertas itu ke dalam saku dan membuka jendela mobil sambil tersenyum ke arah Mas Wibi.

"Kamu gak apa-apa? Ada yang aneh?" tanyanya sambil melongok ke dalam mobil.

Aku menggeleng pelan. "Gak ada, Mas. Kayaknya udah bisa kubawa mobilnya."

"Mesinnya udah dicek?" Mas Wibi langsung berjalan menuju ke depan mobil dan membuka kap-nya. Wajahnya tampak serius dengan tangan yang terjulur ke dalam, sepertinya sedang memeriksa komponen-komponen di sana. "Coba nyalain!" ujarnya ke arahku. Aku langsung menyalakan mesin dan semuanya terdengar seperti biasa.

Lelaki itu mengangguk lantas menutup kembali kap dan berjalan ke arahku. "Oke, masih bagus semuanya." Ia menatapku beberapa saat tanpa berbicara apa-apa.

"Mau pulang sekarang?" tanyaku, Mas Wibi mungkin merasa tidak nyaman berada di rumahku terlalu lama.

"Kamu udah puas ketemu sama Ibu?" Ia tersenyum sejenak. "Saya gak apa-apa kalau kamu masih kangen sama Ibu."

Perkataannya membuat hatiku menghangat. Mas Wibi bisa mengerti hal itu karena ia tahu Ibu adalah satu-satunya orang tua yang kupunya saat ini. Tapi aku bahkan tak memikirkan perasaannya yang sudah tak bisa bertemu dengan kedua orang tuanya. Aku bahkan tak pernah bertanya apakah ia merindukan mereka atau tidak. Kali ini sungguh aku merutuki diriku yang sangat tidak peka.

"Mas mau ketemu sama Ayah Ibu gak?" tanyaku dan membuat matanya terbelalak. Ia tampak bingung dan menutup mulutnya sejenak, tak lama kemudian mengangguk pelan.

Kami berdua pamit pada Ibu untuk pergi menuju kediaman terakhir Ayah dan Ibu Mas Wibi yang berada di salah satu pemakaman besar di ibukota. Kami berangkat dengan mobil masing-masing, namun sejak tadi Mas Wibi tak mengatakan apa-apa bahkan hingga kami tak berada di satu mobil seperti ini. Aku mengikuti mobilnya yang berbelok dan parkir di sebuah lahan luas di depan pemakaman. Kami turun dari mobil, ia tampak menungguku dengan hidung dan matanya yang sudah memerah.

Kami berjalan menyusuri pusara-pusara yang diselimuti rumput hijau rapi dengan nisan marmer di bagian kepalanya. Langkahnya gontai, bahu lebarnya tampak sedikit rapuh dari belakang. Ia lalu berhenti dan berjongkok di antara dua pusara, kepalanya tertunduk kemudian membelai keduanya pelan. Ah, seharusnya tadi kami mampir dulu untuk membeli bunga.

Aku ikut berjongkok di sampingnya, melihat nama-nama yang tertulis di sana bergantian. Kalau tidak salah, sudah lebih dari sepuluh tahun mereka meninggalkan Mas Wibi. Aku tak dapat membayangkan bagaimana rasa rindu Mas Wibi pada mereka, juga bagaimana persaannya kala itu, kala ia terpaksa harus kehilangan keduanya sekaligus begitu saja.

FatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang