[17.5] That Night

96 6 8
                                    

A spinoff story from the chapter 17.

Slightly 18+

******

Alesha membuka mata perlahan, ia terkejut karena tangan kanannya melingkar di leher lelaki yang masih terlelap di sampingnya. Ini pertama kalinya ia mendengar Wibi mendengkur halus, padahal biasanya lelaki itu mudah terbangun bahkan hanya karena bunyi-bunyian kecil sekalipun. Ia beranjak dan langsung berlari menuju ke luar, beralih menuju kamarnya yang berada tepat di belakang kamar Wibi. Ia menuju toilet untuk membasuh wajah dengan cukup kasar. Berkali-kali perempuan itu menghela napas lalu tertegun menatap kaus yang dipakainya sekarang, yang jelas bukan miliknya.

Apa yang terjadi semalam sungguh di luar rencana dan sangat tiba-tiba, tapi keduanya benar-benar berada dalam akal sehat mereka. Entah ia harus menyalahkan siapa di antara hujan, malam, atau kewarasan keduanya. Alesha memijat pelipisnya pelan, ia kebingungan dengan ekspresi macam apa dan apa yang harus ia katakan saat bertemu dengan Wibi nanti.

Beberapa waktu ia habiskan di sana untuk merenung, hingga ia sadar bahwa waktunya berangkat ke kantor sudah semakin dekat dan ID card-nya tidak ia temukan di manapun. Perempuan itu segera bersiap dan beranjak membuka pintu kamar. Langkahnya terhenti saat melihat Wibi yang juga baru keluar dari kamar dengan canggung. Mereka berdua menjadi sangat kaku, seolah saling tak melihat satu sama lain.

"Aku ... mau ngambil ID card," gumam perempuan itu menunjuk ke arah kamar Wibi.

"O-oh! Bajunya udah di mesin cuci tapi gak ada ID card-nya."

Alesha menutup wajah dengan tangan. Bisa-bisanya tadi pagi dia langsung pergi begitu saja hingga Wibi harus membereskan kekacauan mereka. Lelaki itu mundur dan membuka pintu kamar lebar-lebar, sosoknya langsung melihat ke sana kemari mencari benda yang dimaksud tadi. Alesha masih sedikit canggung, namun ia merasa tidak bisa tinggal diam melihat Wibi berjongkok untuk mencari tanda pengenalnya yang tadi malam mereka lempar begitu saja entah ke mana.

"Ini ada!" seru lelaki itu sambil merogoh sesuatu dari kolong tempat tidur. Ia tersenyum dan langsung menyerahkannya pada sang pemilik. Alesha hanya mengangguk sambil mengucapkan terima kasih dengan pelan hampir tak terdengar, lalu kembali berjalan keluar. Sebenarnya ia takut Wibi tiba-tiba membahas sesuatu yang belum siap ia dengar.

Keduanya berjalan menuju dapur untuk mempersiapkan sarapan. Satu orang memanggang roti, sedangkan yang lain membuat kopi dengan hening, hanya peralatan dapur yang bersuara saat ini.

"U-udah sembuh?" tanya Alesha sambil menunjuk pipi Wibi yang masih meninggalkan sedikit luka lecet di sana.

"Iya, udah gak apa-apa," jawab Wibi kaku. "Kamu hari ini dinas luar lagi, gak?"

"Belum tau, tapi kayaknya nggak."

"Aku ... anterin, ya!"

Alesha mengangguk pelan. Mereka menghabiskan sarapan dan berangkat ke kantor tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hanya playlist pagi mereka yang menggema di dalam mobil.

"Aku turun," ujar Alesha singkat sambil melepas sabuk pengaman yang ternyata sedikit macet. "Duh! Padahal kemaren bagus-bagus aja!" gerutunya sambil mencoba menarik benda itu dengan kencang dan membuat Wibi langsung membantunya.

"Pelan-pelan, nanti tangan kamu sakit," gumam lelaki itu.

Wibi mencoba melepaskan sabuk pengaman hingga terlepas, kali ini ia mendorong tubuhnya semakin mendekat untuk membukakan pintu mobil dari dalam namun Alesha yang terkejut buru-buru menutup tubuhnya dengan tangan.

"M-makasih." Alesha keluar setengah melompat lantas berlari masuk ke gedung tempatnya bekerja. Di dalam mobil, Wibi menghela napas melihat sang istri berlalu begitu saja, padahal hari-hari sebelumnya mereka selalu saling melempar senyum bahkan sebuah kecupan lembut di kepala sebelum mereka berpisah untuk bekerja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang