18. Tidak Tepat

54 6 0
                                    


"Kenapa, Kak?" tanya Ibu saat aku langsung berlari ke pelukannya sesampainya di rumah. Tangan hangat beliau mengusap punggungku lembut padahal sebelumnya sedang memegang sebuah nampan kosong.

Aku menelusupkan wajah di pundaknya, mencoba untuk tak menangis saat itu juga. Pembicaraan Oppung dan Anton masih terus terngiang di telinga. Bagaimana beliau mengamankan Anton di sisinya hanya untuk mengetes apakah aku tulus atau tidak, padahal beliau juga yang bilang ingin segera menikahkan aku dan Mas Wibi.

Masih teringat jelas diingatan bagaimana frustasinya diriku saat harus batal menikah dan kehilangan semuanya, juga tiba-tiba terjerat hutang yang sangat besar padahal tak tahu menahu soal itu. Pun bagaimana aku ke sana kemari mencari keberadaan Anton dan keluarganya, berharap lelaki itu bisa ditangkap dan menebus semua kesalahannya. Pantas saja aku tak pernah bisa, dibelakangnya berdiri seseorang yang sangat kuat dalam bidang hukum, kakek dari suamiku sendiri. Ia melindungi orang yang sangat kubenci, bahkan menyuruhnya terus-terusan menerorku hingga aku tak bisa hidup dengan tenang.

"Maafin Ibu, ya," gumam Ibu padahal ini sama sekali bukan salahnya.

"Bukan salah Ibu."

Ibu membalas pelukanku dengan erat untuk beberapa saat hingga ada pelanggan yang masuk dan tampak canggung melihat kami.

"Istirahat dulu sana, Mas Wibi tau Kakak di sini?"

Aku menggeleng. "Aku gak mau ketemu siapa-siapa dulu, Bu."

Beliau mengangguk paham dan kembali mengusap punggungku sebelum aku beranjak menuju rumah lalu masuk ke dalam kamar dan bersembunyi di sana. Bersembunyi dari segala pikiran buruk yang terus menghantui dan membuat telingaku bising.

*

"Kak!" suara Anna terdengar dari luar kamar disertai ketukan pintu beberapa kali. Aku beranjak dari tempat tidur dan melihat ke arah ponsel yang menunjukkan pukul enam sore. Berpuluh-puluh pesan dan panggilan masuk dari Mas Wibi sejak tadi tanpa kutahu karena ponsel disenyapkan.

"Masih tidur, ya?" tanya Anna lagi-lagi dari balik pintu.

Meskipun berat, aku berjalan menuju pintu dan membukanya segera. Sosoknya tampak tersenyum sambil menenteng sesuatu di tangan kanan. Ia lantas masuk dan kembali menutup pintu lalu duduk di atas tempat tidur.

"Liat, deh! Aku beli ini!" Ia membuka paperbag di tangannya dan mengeluarkan beberapa potong pakaian dengan motif dari kain Bali. Aku ikut duduk di sampingnya lalu melihat-lihat benda itu. "Nih, lucu, kan!"

"Ngapain aja di Bali?"

"Dih, serius mau tau?" Ia terkekeh sambil menutup wajah.

"Mikir apa sih, bocah!" Aku melempar baju di tanganku ke wajahnya.

"Tapi Kakak seru banget kan kemaren ke Korea?"

"Seru dong!"

"Iriii! Pasti kayak drama-drama gitu, kan? Jalan di bawah kelopak bunga yang tertiup angin, trus makan malam romantis di pinggir sungai."

Aku tertawa mencoba menebak drama macam apa yang pernah ia tonton. Kalau aku dan Mas Wibi pasangan sungguhan waktu itu, mungin kami sudah menjelajahi banyak hal di sana. Benar, dari awal hubungan kami ini memang tak sepatutnya dilanjutkan.

"Emang kamu kemaren nggak, Dek?"

"Jalan-jalan di pantai bentar."

"Sisanya?"

"Ya, diem di kamar. Pas kita nyampe sana tuh kan sore, trus main dulu di pantai. Ternyata lagi rame-ramenya pengunjung dan pusing banget, jadinya kita langsung balik hotel abis itu ..."

FatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang