Wibi-04

78 6 2
                                    


Langit tampak cerah kekuningan saat saya berjalan keluar kantor setelah mengurusi beberapa sertifikat saham dan kontrak yang akan dibawa oleh direktur di perjalanan bisnis esok hari. Sedikit mendadak, karena seharusnya hari ini saya libur dan menikmati waktu di rumah saja bersama Alesha atau mungkin pergi ke tempat-tempat yang ingin kami datangi. Tak perlu tempat hiburan, ke mana pun itu asal bersama istri saya maka saya akan senang.

"Saya duluan, Yo!" ujar saya pada Yonathan yang mau tak mau merelakan hari liburnya juga demi membantu saya.

"Hati-hati, Pak!" Ia mengangguk saat saya sudah masuk ke dalam mobil dan melaju pulang lebih dulu. Lain kali saya harus mentraktirnya makan enak.

Beberapa kali saya menghubungi nomor Alesha namun tak kunjung diangkat, padahal saya ingin bertanya kalau-kalau ada yang ingin saya belikan di jalan sebelum sampai ke rumah. Seingat saya ini juga sudah dekat tanggalnya datang bulan, saya mencatatnya saat ia beberapa kali mengeluh kalau perutnya sakit atau dia mulai sedikit moody. Bisa terjadi bahkan sejak seminggu sebelumnya.

Sesampainya di tempat parkir, saya tak menemukan mobilnya di tempat biasa. Apakah mungkin ia sedang pergi ke suatu tempat? Mungkin rumah Ibu? Kalau tidak salah minggu lalu Anna bilang ada oleh-oleh yang ia bawa dari Bali untuk kami dan belum bisa kami ambil karena sedang pergi berlibur.

Saya segera memutar balik dan memilih untuk pergi ke rumah Ibu. Benar saja, mobil Alesha sudah terparkir di sana namun ia tak terlihat di mana pun. Hanya ada Ibu dan Anna yang masih melayani pembeli di dalam toko. Ibu langsung berjalan ke luar dan mengajak saya duduk di salah satu meja yang kosong, tak lupa menghidangkan beberapa roti dan air minum sambil tersenyum.

"Mas udah makan?" tanya beliau ramah.

"Belum, Bu."

"Mau makan di sini?"

"Alesha ..."

"Ada di kamar lagi tidur."

Saya menghela napas dan hendak kembali bertanya, namun beliau tampak ingin mengatakan sesuatu.

"Tadi waktu dia datang keliatan sedih banget, Mas. Tapi gak mau cerita sama Ibu dan belum mau ketemu siapa-siapa. Barangkali Mas mau cerita ..."

"Alesha sedih, Bu? Tadi pagi di rumah baik-baik aja, kok. Saya baru pulang dari kantor karena urusan mendadak."

Ibu mengangguk pelan dan kembali tersenyum. "Maafin anak Ibu, ya. Alesha ini dari dulu memang lebih suka simpan apa-apa sendiri. Kita cukup tunggu sebentar dan kasih dia waktu. Mudah-mudahan Mas mau sabar menunggu. Sebentar, ya!" ucap Ibu sambil beranjak dan melayani pembeli lain yang masuk sedangkan Anna sedang pergi entah ke mana.

Saya menyandarkan punggung dengan lemah, bertanya-tanya apa yang mungkin membuat Alesha sesedih itu hingga tidak mau bertemu dengan saya.

Sudah tiga hari saya menunggu namun ia masih tetap belum membalas pesan yang saya kirim, entah sudah berapa banyaknya. Saya juga mencari-cari alasan untuk terus ke rumah Ibu dan berharap ia mau bertemu, namun nihil. Ini tidak nyaman, padahal sebelumnya saya terbiasa tinggal sendiri dan baru beberapa bulan saja ia ada di rumah ini, kenapa sekarang rasanya hampa sekali. Yang lebih menyakitkan adalah, saya tahu di mana dia berada tapi kami masih tetap tak bisa bertemu.

Semua hal itu membuat saya tak nafsu makan, saya rindu melihat punggungnya berdiri di depan kompor setiap pagi atau larut malam hanya karena membuatkan camilan untuk kami nonton film atau pertandingan bola bersama. Saya juga rindu tegurannya halusnya saat saya menyimpan outer di mana saja dan tak menggantungkan benda itu di tempatnya. Saya juga rindu mencium wangi rambutnya setiap kali kami berangkat ke kantor bersama.

FatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang