12. Bersalah

228 23 0
                                    

Tedy keluar dari ruang kerja papanya dengan langkah yang tertatih. Bahkan keringat dingin membasahi dahinya. Langkah kakinya membawanya menuju ruang makan yang terletak di sebelah dapur. Dia mendudukkan tubuhnya dengan hati-hati. Kepalanya menelungkup di atas meja.

"Sakit..." gumamnya.

"ASTAGHFIRULLAH" teriak Vivine dari arah dapur

Tedy kaget mendengar teriakan seseorang. Keadaan ruangan yang remang-remang membuat keduanya kaget.

"Eh... maaf mas. Kaget ya? Saya juga kaget, tadi ga ada orang kok sekarang tiba-tiba ada orang." Jelas Vivine dengan cengengesan. Sejujurnya dia merasa tidak enak sebab menggunakan dapur di rumah orang tanpa izin. Apalagi bikin kopi lagi. Serasa dirinya maling kopi di rumah ini.

Karena merasa canggung, dia akhirnya mencoba menawari Tedy kopi.

"Mmm... maaf mas, tadi saya gunakan dapurnya tanpa izin. Saya lagi bikin kopi nih, Mas Tedy mau?" Tawar Vivine dengan kikuk. Tedy diam hanya menatapnya saja. Vivine jadi khawatir, jangan-jangan yang punya rumah marah lagi.

"Kamu bisa bikin mie instant ga?" Tanya Tedy dengan randomnya. Kontan saja Vivine cengo. Ditanya apa tapi jawabnya apa, batinnya. Tapi dia tetap mengangguk mengiyakan.

"Bisa tolong bikinkan mie instan? Saya lapar tapi ngga bisa bikinnya" ucap Tedy pelan. Sepertinya dia agak malu.

"Oh bisa mas. Bentar aku bikinin. Mba di rumah biasanya nyimpan mienya di mana?" Tanya Vivine sambil berlalu menuju dapur.

"Cari aja di lemari situ. Maaf ya ngerepotin. Kamu kalau mau buat sekalian aja."

Vivine mengacungkan jempolnya. Dia menemukan beberapa stok mie instan di lemari dapur. Sementara Vivine memasak mie instan, Tedy kembali menelungkupkan kepalanya di atas meja. Selang beberapa menit kemudian Vivine menghidangkan dua piring mie instan di atas meja.

"Terimakasih"

Keduanya menyantap mie dalam diam. Beberapa kali Vivine mencuri pandang ke arah laki-laki di depannya ini. Meski cahaya di ruang makan sedikit remang, tapi dia bisa melihat wajah Tedy yang lebih pucat dari terakhir dia melihatnya. Tapi dia diam saja tidak ingin bertanya sebab takut mengganggu Tedy.

Vivine teringat sesuatu yang ingin dia sampaikan. "Btw mas. Udah tau belum kalo 2 orang yang tertangkap barengan sama adik-adiknya mas Tedy itu ternyata masih ada hubungan kerabat sama capres 03?"

"Maksudnya?"

"Iyaa... ternyata keduanya masih kerabat dekat capres 03. Fadil juga udah nemuin foto bukti kedekatan mereka. Kalau Pak Prabu mau kita bisa jeblosin mereka ke penjara kok. Tinggal bentuk team penyelidikan lebih lanjut aja untuk cari bukti campur tangan capres 03 kalau memang dugaan saya benar."

"Tidak perlu. Papa sudah punya team sendiri untuk balas mereka. Beliau ga mau main bersih kali ini. Apalagi yang keseret bungsu kesayangan." Gurau Tedy.

Vivine juga ikut tertawa kecil. "Hahaha... pasti kalian berempat hari ini diomelin habis-habisan sama beliau"

Tedy tertawa menanggapinya. "Mba Vivine kaya baru ngerti keluarga militer aja. Pukulan sayangpun kita dapat mba"

Vivine jadi ikut tertawa. Menertawakan nasib mereka sebenarnya. Dia paham betul maksud dari perkataan Tedy. Tebakannya benar bisa jadi itulah sebab muka Tedy pucat sekali.

"Panggil Ine aja mas kalau lagi santai gini. Mau aku bantuin ga lukanya?" Tawar Vivine kepada Tedy. Tedy menimang-nimang sebentar tawaran Vivine. Tidak ada masalah sebenarnya untuk menerima tawaran Vivine, toh dia juga udah familiar dengan kondisi seperti ini. Hanya saja gengsi mau minta tolong. Tapi siapa juga sekarang yang bisa nolong dia selain Vivine. Akhirnya Tedy mengangguk menerima bantuan Vivine.

Not an easy lifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang