Percakapan Catok Rambut

49 0 0
                                    

Ayam-ayam tetangga masih mengumpulkan nyawa untuk berkokok saat Kak Luna sudah bertandang ke kamar gue dan memaksa gue untuk buru-buru bangun tidur, mandi, dan keramas. Tadinya gue pikir dia mau nyontek PR, jadi harus berangkat pagi-pagi. Ternyata gue salah, dia melakukan itu semua supaya sebelum berangkat sekolah, dia bisa mencatok rambut gue. Iya, catok rambut! Gak penting banget!

"Kak, gue masih ngantuk banget nih. Bisa-bisa gue ketiduran di kelas."

"Demi, La. Demi!" kata Kak Luna sambil asyik mencatok rambut gue.

"Demi apa?" tanya gue bingung.

"Demi keliatan cakep lah!" jawabnya.

"Gak penting banget sih lo, Kak!" sahut gue sambil bertopang dagu.

"Duduk yang bener ah!" dengan kejam Kak Luna langsung menjambak rambut gue supaya gue kembali menegakkan duduk.

Okay, lebih baik gue nurut sebelum rambut gue yang sekarang berasap-asap itu beneran dibakar sama Kak Luna. Gue menyeruput kopi yang ada di meja belajar agar mata gue yang rasanya kayak dicantolin batako ini bisa terbuka sedikit lebih lebar lagi.

"La, setelah lo jadi anak dance, lo akan diperhatiin orang." kata Kak Luna tanpa kehilangan konsentrasinya.

"Gue gak suka jadi pusat perhatian." jawab gue.

"Digosipin juga." lanjut Kak Luna tanpa mepedulikan jawaban gue.

"Apalagi digosipin!"

"Dibenci juga."

"Kak, please deh, gue gak mau dibenci."

"Tapi sebetulnya lo selalu dicari karena orang-orang selalu pengen melihat gerak-gerik lo."

"Ini gue sebetulnya jadi anak dance atau jadi maling ayam sih kak? Kok kayaknya efeknya sama!"

Lagi-lagi Kak Luna menjambak rambut gue. Sekali lagi dia jambak rambut gue, gue sumpahin dia berubah jadi ganjelan pintu!

"Karena itu semua, lo harus selalu terlihat sempurna," lanjut Kak Luna.

"Dan untuk itu gue harus bangun pagi-pagi buta gini tiap hari? Bisa-bisa kantong mata gue nanti malah jadi segede kantong doraemon gara-gara kurang tidur. Bukannya cakep nanti gue malah kayak panda kurang gizi."

"Nanti gue kasih masker mata."

"Tapi kak, gue gak terobsesi jadi populer kayak lo."

Kak Luna diam sejenak, menjauhkan catokannya dari rambut gue, dan memandang gue lewat kaca kecil yang ada di depan kami.

"Lo mau punya pacar kayak si Yudha gak?" tanyanya.

Gue hampir keselek ludah gue sendiri mendengar pertanyaan Kak Luna. Satu-satunya orang yang tahu kalau gue ngefans berat sama Kak Yudha hanya Rani. Kak Luna tahu dari mana?

"Gak usah kaget gitu!"

"Lo tau dari mana kak?" tanya gue ragu.

"Muka lo tuh ya kalo lihat si Yudha kayak mau lo makan hidup-hidup. Seolah dia itu makhluk Tuhan yang paling tampan sejagat raya. Norak tau, La!"

Seketika gue merasa muka gue panas. Wajah gue mendadak merah padam. Masa sih muka gue kayak gitu tiap lihat Yudha?

"Lo tahu gak, selama 3 tahun sekolah di SMA kita, si Yudha itu cuma pernah pacaran sekali. Dia pacaran sama kakak kelas selama dua tahun. Anak dance juga dulunya. Cantik banget."

"Kenapa putus?"

"Mana gue tahu! Emang gue emaknya!" sahut kak Luna, "tapi gak penting kenapa mereka putus. Yang penting sekarang dia single! Lo mau gak sama dia?"

Reflek gue menganggukkan kepala gue.

"Kalo gitu usaha. Lo pikir si Yudha mau bawain tas cewe yang rambutnya kayak belum sisiran seabad."

"Hah? Kok bawain tas kak?"

"Emang apa gunanya pacar kalau gak disuruh bawain tas?"

"Itu pacar apa kacung kampret?"

"Lola, gunanya punya pacar itu emang supaya ada yang bisa disuruh-suruh."

"Terserah lo deh kak."

"Jadi mau gak usaha?"

"Mau!"

"Yaudah, kita mulai dengan catok rambut. Duduk yang bener!"

Kali ini gue menurut. Demi jadi pacar kak Yudha, gue rela bangun tidur lebih cepet dari ayam tetangga!

Lola and FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang