Perjalanan menuju Jurang Bayangan tidaklah mudah. Ketiga pahlawan wanita itu harus melewati jalan yang rumit, naik gunung turun bukit, melewati hutan menyeberangi sungai. Untuk tiba ke Jurang Bayangan sendiri setidaknya membutuhkan waktu sekitar 2 hari perjalanan.
Kadita, Aurora dan Benedetta sesekali beradu menggunakan ketangkasan masing-masing untuk melewati rintangan. Sesekali pula ketiganya mengerahkan kemampuan berlari yang mereka miliki.
Benedetta yang terbiasa hidup di alam bebas, tentunya tidak merasakan adanya kesulitan melewati daerah hutan. Sedangkan saat menempuh jalur pegunungan, Aurora yang menguasai medan. Dan saat menyeberangi sungai, giliran Kadita yang memperlihatkan ketrampilan ilmunya.
Tanpa terasa hampir satu hari mereka lewati bersama. Saat ketiganya melewati daerah hutan kedua untuk menuju seberang sungai, Jurang Bayangan sudah menanti mereka jika mereka berhasil menembus hingga ke ujung hutan. Jurang Bayangan adalah sebuah daerah dingin yang jauh terletak di bawah bukit, dikelilingi pepohonan dan berdaun lebat. Kabut tebal sering menyelimuti bukit itu dan menghalangi pandangan mata.
"Kita istirahat dulu." Nafas Kadita tampak terengah-engah saat ketiganya memutuskan untuk beristirahat. Keringat tampak membasahi leher dan pundaknya yang terbuka karena pakaian berbelahan dada rendah yang dikenakannya. Sementara dadanya yang membusung indah tampak turun naik dengan nafas memburu.
Benedetta mengikuti langkah Kadita yang berhenti. Tidak seperti Kadita yang tampak kelelahan, Benedetta hanya merasakan sedikit berkeringat, namun tidak sampai terengah dengan nafas memburu. Mungkin karena dia sudah terbiasa hidup di alam liar.
"Benar. Disini juga sudah mulai berkabut." Dia menjatukan dirinya bersandar dan terduduk di sebuah bebatuan besar.
Sedangkan Aurora masih dengan sifat aslinya, dingin tanpa ekspresi. Tidak ada setetespun keringat yang membasahi tubuhnya yang dipenuhi es membeku. Pun tidak ada tetesan es yang menetes akibat perjalanan jauh yang mereka tempuh.
Benedetta mengambil botol minum yang tergantung di pinggangnya dan langsung mereguk air di dalamnya. Namun sepertinya air yang tersisa tidak cukup untuk menghapus dahaganya. Dia menggoyangkan botol airnya dengan kecewa.
"Cadangan airku habis. Aku mau mencari air di sekitar sini. Kalian tunggu disini." Benedetta baru saja hendak berlalu saat Kadita mengangkat tangannya.
"Tidak perlu." Ratu Laut Selatan itu berkata. "Aku bisa membantumu. Belum tentu juga di sekitar sini ada sungai."
"Ah, aku lupa jika Ratu Kadita bisa memberikan air," Benedetta tertawa dan menyerahkan botol minumnya yang kemudian diterima oleh Kadita.
"Dia itu sumber air yang tak pernah kering, bagaikan air pancuran." Celetuk Aurora.
Kadita tertawa. "Sekali ini aku sependapat denganmu."
"Memang kalian dua ratu ini tidak pernah sependapat." Benedetta tertawa. "Selalu saja bersaing dengan rivalitas tinggi tiada henti."
Botol minum yang sudah terisi oleh air segar diserahkan kembali kepada Benedetta. Tanpa ragu, Benedetta menuangkan isinya membasahi tenggorokannya yang masih kering.
"Segarnya air darimu, Ratu Kadita." Benedetta merapikan botol dan menyimpannya kembali ke gantungan di pinggangnya. "Terima kasih."
Suara gemerisik daun yang seperti diterabas membuat Benedetta terjaga. Pandangan matanya tampak melihat ke sekeliling tempat mereka beristirahat.
Hal yang sama disadari oleh Aurora. Namun Ratu Es itu masih terduduk, hanya lebih waspada dibanding beberapa waktu sebelumnya.
Kadita yang masih dalam posisi berdiri dengan tombak trident yang dipegangnya tidak kalah terkejutnya dengan kedua rekannya. Ratu Laut Selatan itu memegang tombaknya lebih erat, bersiap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MLBB The Story: Menumpas Ledakan Bencana Besar (TAMAT)
FantasyThe Land of Dawn, tempat para hero Mobile Legend bergejolak. Sekelompok Abyss ingin menguasai daerah tersebut dengan kekuatan jahatnya. Thamuz yang berada di bawah Dyroth menyebar ancaman. Selena the Abyssal Witch dan Alice si penyedot darah melakuk...