Chapter 1

266 9 0
                                    

Saat ini, tidak ada yang lebih menegangkan dari apapun kecuali berada di samping Niko. Di ruangan yang hanya ada mereka berdua, bersama seorang gadis berambut hitam panjang nan indah. Ia memandang pria dengan kaus polos tengah memasang bingkai foto di dinding. Di sana tampak keduanya berfoto saat pertemuan keluarga.

"Siapa saja yang pernah berkunjung ke kamarmu?" tanya Niko memandang sekeliling kamar dengan teliti. Kemudian menatap gadis di kursi kerjanya tak lepas.

"Tidak ada, hanya Bunda," jawab gadis itu sangat pelan. Ia sungguh tak nyaman berada satu ruangan dengan pria bermata tajam tersebut, mata yang tidak pernah terlihat senang menatap dirinya. Selalu penuh amarah, kecurigaan, dan cemburu.

Cukup dengan satu langkah Niko menghampiri kekasihnya, lantas mencengkeram kuat bahu gadis itu. "Aku punya banyak pilihan hadiah jika kamu berbohong."

Bahu kecil itu terasa semakin tak berdaya. Ia bahkan tidak dapat berpikir dengan keadaan seperti sekarang. Pria berkulit kuning langsat itu bahkan tak memedulikan ringisan gadis itu. "Emh, terkadang Valdo juga ke sini."

"Untuk apa?" Nada bicara pria tersebut tampak tidak senang.

"Tapi dia Adikku, bukankah itu hal wajar?" Semakin lama hubungan mereka berjalan, semakin banyak hal-hal yang membuatnya frustrasi.

Niko memasang senyumnya dengan mata yang menyipit. Namun, lengkungan manis itu tak semanis perlakuan tangannya yang sudah menarik kuat rambut panjang kekasihnya. "Vika, dengarkan ini! Aku tak peduli siapa pun itu, selain aku, tidak ada laki-laki yang boleh masuk ke kamarmu! Mengerti?"

Kepala yang malang, Vika merasa kepalanya hampir terpisah. Jantungnya berdegup lebih kencang karena aksi Niko yang tiba-tiba. Tidak perlu bertanya bagaimana kulit kepalanya sekarang, benar-benar sakit.

Sebagai jawaban, Vika hanya dapat mengangguk. Ia yakin Niko menyadari air matanya yang hampir menetes, tetapi pria itu tentu tak peduli. Tak ada yang lebih penting dari keegoisan.

Helaan napas panjang terdengar dari pria yang kini duduk di ujung ranjang. Kesenyapan lantas tercipta, Vika sendiri tidak ingin berbicara. Jika ia salah bicara, itu akan menjadi bom bagi dirinya. Diam lebih baik.

"Ama mengundangmu untuk makan malam besok. Jangan sampai terlambat atau aku akan memberimu hadiah," ujar Niko lantas merebahkan dirinya. Ia menghirup aroma yang terus masuk ke indra penciumannya.

"Bersama Bunda?" tanya Vika.

"Tidak. Ama ingin mengenalkanmu dengan Kakek dan Nenek." Niko tertawa kecil, seakan ada kepuasan dalam dirinya.

"Aku baru mengingatnya, besok aku sudah berjanji untuk menemani Bunda ke pusat perbelanjaan." Vika mengarah pada pria dengan jam tangan perak itu. Ia menatap berharap untuk dibatalkan saja.

"Bunda sudah setuju. Aku tidak menerima alasan lain lagi." Sudah mutlak, jika seperti ini dan gadis bermata hitam itu tetap melawan, mungkin bagian tubuh lainnya akan menjadi sasaran Niko.

"Tentang bingkai foto itu, jangan pernah geser sedikitpun! Itu tempat paling bagus bagimu untuk mengingat siapa yang akan memilikimu," pesan Niko.

Gadis itu hanya bisa diam, ia memandang foto dirinya yang tersenyum bersama Niko. Kemudian beralih pada kekasihnya yang keluar dari kamar dan menutup pintu. Rasanya begitu lega, ia sangat merasa bebas sekarang. Ia mengusap wajahnya gusar.

"Aku bukan milik siapa-siapa. Aku hanya milik diriku sendiri. Siapa juga yang akan menikah dengannya?" kesal Vika sembari berjalan menuju kamar mandi. Sudah waktunya membersihkan diri dan pikiran, lalu dia akan segera tidur.

-oOo-
Beberapa orang telah bergegas keluar dari ruang rapat. Rapat kali ini berlangsung cukup lama, hal ini dilakukan untuk evaluasi beberapa produk perabotan yang mengalami penurunan penjualan dalam beberapa bulan belakangan. Vika selaku tim kreatif benar-benar harus berpikir keras bersama tim yang lain.

TekanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang