Chapter 3

650 24 0
                                    

"Tidak banyak. Pria baik itu adalah pria yang dapat menghargai orang lain sebagaimana harusnya. Dapat memperlakukan seseorang ... seperti manusia." Vika terdiam memandang layar laptop yang mulai menunjukkan penutupan serial.

Niko ikut senyap memandang gadisnya dan berpikir ringan sejenak. Lantas terdengar helaan napas dari pria itu. "Bukankah itu hanya fiksi? Kenapa kamu terlalu serius?" tanyanya mengerutkan dahi.

"Saat Papa masih ada, jika aku merasa butuh hiburan, aku dapat melakukan apa saja tanpa memikirkan biaya atau yang lainnya." Mata sembab itu menoleh memandang mata Niko. "Sekarang, aku hanya bisa melakukan ini sebagai hiburan."

Keduanya kembali menciptakan kesunyian. Kain yang membuka sedikit jendela menampakkan terangnya rembulan. Cahaya malam memasuki ruangan yang menjadi saksi kehidupannya setelah ekonomi yang menurun.

"Lain kali, katakan saja padaku apa yang kamu inginkan atau lakukan. Jangan menangis atau menderita hanya karena uang!" Niko sangat merasa tidak berguna jika hanya karena uang saja gadisnya harus merasakan hal menyedihkan seperti ini.

"Aku tidak ingin berutang, Kak," ujar Vika kemudian menutup laptop dan meletaknya di nakas.

"Siapa yang memintamu untuk mengganti? Kamu pikir aku sesuatu seperti peminjaman uang?" Terdengar nada yang mulai tinggi dari bibir Niko.

Gadis dengan rambut yang disanggul itu menghela napas saat menatap Niko. Pria yang senantiasa berlimpah uang, bagaimana bisa mengerti?

"Aku tidak bermaksud seperti itu. Tetapi aku sudah merasakan bagaimana perihnya melakukan pinjaman uang."

Tangan pria berkulit sawo matang itu merangkul pinggang Vika lebih mendekat. "Aku tidak sedang menawarkan atau memberimu pinjaman."

"Namun, tidak ada yang gratis di dunia ini. Aku tahu itu," sahut Vika mulai tidak tenang, sebab jarak yang sudah tidak ada lagi.

Ketika semakin dekat, kedua pasang mata itu saling menatap dan kian lekat. Tidak bisa dipungkiri, bahwa gadis itu sedikit menegang. "Tentu saja, kamu harus bersamaku, menjadi pasanganku, dan tinggal bersamaku. Kita akan menghadapi dunia ini berdua."

Vika langsung berpaling dan berusaha mengembalikan ritme pernapasannya. Ia tidak ingin menatap pria itu untuk saat ini. Gadis itu sudah menduga, pada akhirnya Niko akan membawa hubungan ini hingga ke jenjang pernikahan. Namun, perkataan itu benar-benar masuk ke telinganya dan ia berhadapan langsung dengan orang yang akan bersanding dengannya.

Dengan jam tangan di lengannya, Niko menarik rambut Vika dan mengarahkan agar dapat melihat wajah gadisnya. Ia melihat tingkah yang aneh dan membuat dugaan buruk di pikirannya.

"Kamu berpikir untuk pergi dari hubungan kita?" ujarnya seraya tertawa remeh. "Sejauh mana kamu berpikir untuk melakukan itu?"

"Tidak, aku tidak mengatakannya." Tetap saja terasa sakit, meski pria tersebut tidak menarik rambutnya terlalu kuat.

"Terlihat jelas dari tingkahmu!" Ia menarik rambut yang disanggul itu hingga kini terlepas dan semakin kuat.

Vika terus berusaha menjauhkan kepalanya dari tangan pria itu yang nyatanya sangat sulit. Air matanya mulai memberontak untuk keluar, tetapi ia tidak ingin terlihat sedih lagi di depan orang-orang, terlebih Niko.

"A-aku, maaf," ucap Vika yang sudah terbata-bata karena tidak dapat mengendalikan dirinya.

"Lupakan!" Niko melepas tangannya dari rambut gadis yang sudah berantakan itu.

Di tengah ketegangan yang ada, tiba-tiba ponsel pria itu berbunyi, lantas langsung mengangkatnya. Terlihat Niko tengah mendengarkan perkataan dari lawan bicaranya.

TekanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang