"Apa maksudmu menolak ajakan Ama ke Raja Ampat? Hah?" Lengan yang dilingkari jam tangan berwarna perak itu seperti sudah lihai menarik kuat rambut panjang Vika.
Gadis itu baru saja masuk ke mobil dan secara tiba-tiba terjadi begitu saja. Rambutnya yang rapi sekarang sudah berantakan. Tidak bisa dibohongi, bahwa matanya terlihat lelah serta kesakitan. Rintihan kecil juga terdengar memenuhi mobil.
"Kak ... a-aku, aku tidak bisa pergi tanpa Valdo dan Bunda." Tangisannya perlahan mulai muncul, sebab kepalanya sakit dan berkunang-kunang.
"Kamu tidak tahu, bagaimana Ama sangat menginginkan liburan ini? Kamu mengecewakannya!" Sangat ringan tangan itu membenturkan kepala Vika pada dasbor mobil cukup kuat.
Suara benturan itu seakan tidak sebanding dengan sakit yang Vika alami. Ketika kepalanya sakit, harus ditambah lagi dengan benturan dengan sengaja. Matanya lemah dan tampak sayu dengan rambut yang masih ditarik kuat. Ia mendongak kesakitan tak bertenaga.
"Kamu harus meminta maaf pada Ama dan pergi berlibur akhir pekan ini!" Sangat jelas Niko tengah berapi-api. Netranya juga penuh amarah menatap Vika.
"Kak, kepalaku sangat sakit." Gadis berkemeja abu-abu itu merintih kesakitan. "Tolong lepaskan!"
Niko menelepon Ama dan mengarahkan ponselnya pada gadis satu-satunya, tetapi tangan kejam itu masih tidak lepas dari rambut Vika. Melihat ponsel yang di arahkan padanya, Vika mengontrol suaranya yang pasti berbeda dari biasanya.
"Ha-halo, halo, Ama!" sapa Vika menahan tangisnya.
"Vika? Hai, Vika!"
Vika hanya berniat mengontrol dirinya sejenak, tapi rambutnya justru ditarik semakin kuat, seolah Niko sangat tidak memiliki kesabaran.
Meski napas yang terputus-putus karena rasa takutnya, ia berusaha mengucapkan beberapa kata dengan susah payah. "Ama, em ... maaf karena te-telah menolak a-ajakanmu. A-aku, aku akan ikut pergi berlibur akhir pekan ini."
Niko langsung mematikan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban apa pun dari Ama. "Ama menawarkan bukan berarti ada dua pilihan jawaban antara iya atau tidak. Jawaban yang harus keluar dari mulutmu hanya 'ya', tidak ada yang lain. Jangan sampai aku membuatmu memohon setengah mati hanya demi bernapas!"
Vika hanya diam setelah kepalanya terbebas dari tangan kejam itu. Ia menatap jari-jemarinya yang saling tertaut gelisah. Bersusah payah menarik napas dan mengembuskannya, berusaha untuk menetralkan diri.
Tak berselang lama, Niko mengambil sebuah kotak makan dari kursi penumpang di belakang dan melempar ke pangkuan gadis yang sudah berantakan itu.
"Makan sekarang! Ama membuatkannya untukmu." Pria dengan jas hitamnya itu bersandar pada kursi mobil dan memejamkan matanya. "Ada minuman di dalam dasbor."
Vika memandang kotak makan berwarna putih di pangkuannya. Ia sebenarnya belum lapar, tetapi juga tidak memiliki keberanian untuk menolak. Bukankah hanya ada jawaban 'iya' bagi dirinya?
Tidak ingin menambah masalah, Vika membuka kotak makan itu, dan menyantapnya. Ada empat potong lupis di sana dengan ditaburi parutan kelapa serta disiram air gula merah. Rasanya sangat nikmat meski di saat gigitan pertama. Namun, kenikmatan itu tidak dapat menutupi kesedihannya. Bahkan rasa sakit di kepalanya masih terasa.
Ia memegang kepalanya dan bersandar pada sandaran kursi sejenak. Vika tanpa sadar ikut memejamkan mata sama seperti yang dilakukan Niko saat itu. Menenangkan dirinya sejenak, tetapi tanpa sengaja air mata keluar tanpa aba-aba. Hatinya terasa sangat perih dan ia merasa sedikit sulit bernapas.
"Apa kamu tidak menyukainya?" tanya Niko memandang datar.
Seketika Vika tersentak dan mengusap air matanya. "Enak, Kak. Ini enak." Ia langsung menyuap kue itu dengan tangan gemetar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tekan
RomanceVika dipertemukan dengan Niko yang selalu mengekangnya, tanpa ia tahu ternyata pria itu dengan sengaja meminta orang tuanya untuk menjodohkan mereka berdua. Gadis berusia 23 tahun itu hanya tahu bahwa mereka adalah korban perjodohan antara orang tua...