Chapter 8

688 35 10
                                    

Niko berhenti di sebuah gedung dan memasuki parkiran bawah tanah. Itu tak jauh dari restoran tempat Vika makan sebelumnya. Ia sengaja memilih area sepi agar lebih leluasa meluapkan amarahnya.

"Dia memegang lehermu, bukan?" Tanpa aba-aba pria itu langsung mencekik leher kekasihnya sangat kuat. Matanya seperti berapi-api saat menyalurkan rasa cemburunya.

"K-kak! Akh! Sak-sakit. Sa-sakit, Kak!" Air mata menetes satu per satu, sangat sulit bahkan hanya untuk menarik napas. Ia mendongak kesakitan, tidak dapat melihat bagaimana wajah Niko yang belum puas.

"Harusnya aku mematahkan lehermu saja!" teriak Niko dengan suara yang memenuhi mobil.

"To-tolong, lepaskan!" Vika sudah menangis tak tertahan, suara penderitaan yang menurut Niko sangat menghiasi mobilnya. Tangannya sudah berusaha menjauhkan tangan Niko, juga memukul segala hal di mobil itu karena ia tak tahan.

"Jalang kurang ajar! Ini bahkan tidak sepadan dengan kelakuanmu!" Niko kembali berteriak, kali ini tepat di depan wajah Vika. Cengkeraman pada leher tersebut juga kian erat, hingga gadisnya tak dapat membuka mata dengan penuh.

"Mm ... ma ... af, K-Kak," mohon gadis malang yang hampir tidak berdaya. Ia sempat berpikir mungkin saja ini adalah hari terakhirnya.

Niko menghempas cengkeraman itu ke kaca mobil seraya berteriak kesal. Ia tak memedulikan gadis di sampingnya yang nyaris tak sadarkan diri. Vika langsung berusaha menghirup udara lebih banyak dan memegangi lehernya yang merah.

"Kamu tadi juga memegang pahanya. Kamu pikir aku tidak tahu? Hah?" Tangan yang kejam kembali mencengkeram, tetapi kali ini bagian paha Vika. Dicengkeram sangat erat, seperti tidak akan pernah lepas.

Gadis itu meringis dengan mata yang sembab. "Shh .... Kak, aku tidak sengaja." Ia memegang tangan Niko memohon untuk lepas.

Rahang pria itu menggeram, matanya menatap tajam, dan mulai ada kepuasan melihat seseorang di sebelahnya menderita. Tak lama kemudian ia menghempas cengkeraman tersebut. Menyandarkan tubuhnya serta berdiam diri sejenak.

Sementara Vika memilih diam dan menahan suara tangisnya, ia takut salah berbicara. Ada pikiran untuk kabur, bahkan ia sempat melirik pintu di sampingnya. Saat ingin menyentuh pegangan pintu, tiba-tiba saja Niko melempar tisu ke pangkuannya yang terdapat tetesan air mata. Hal itu membuat Vika sedikit tersentak kaget.

"Jangan menjadi perempuan cengeng! Jika kamu berani berbuat seperti itu, kamu juga harus berani menghadapi konsekuensi dariku." Setelah melontarkan perkataan menyebalkan, ia melihat jam tangannya. Jam makan siang tentu sudah hampir habis, Niko lantas kembali mengemudi menuju kantor Vika.

-oOo-
"Dia menunggumu. Aku tidak mengerti ada masalah apa antara kamu dan laki-laki tadi, tapi setidaknya kamu cerita dengan Zavi," saran Arga yang juga merasa gagal fokus mengingat kejadian tadi.

Sekarang Vika telah kembali ke kantor, ia memandang layar komputer tanpa gairah. Sesekali juga memegang kepalanya yang sakit akibat dihempas dan terbentur pada kaca mobil. Ketakutan saat kejadian masih dapat ia rasakan hingga saat ini.

Arga mengerutkan dahinya karena tak mendapat sahutan. "Vika!"

"Eh, iya. Apa dia di bawah? Aku ke sana sekarang." Gadis itu langsung tersadar dan bergegas untuk menemui Zavi.

-oOo-
"Ya ... Bunda berharap jika aku menikah dengan Niko, utang Ayah akan selesai. Itu yang Bunda katakan," ungkap Vika.

"Hah? Apa Bunda tidak tahu tentang perilaku Niko? Dia sangat kasar padamu, bagaimana bisa laki-laki seperti itu dijadikan suami?" Zavi menatap sahabat di sampingnya tak percaya. Ada rasa kesal di dalam dirinya yang belum sepenuhnya meluap.

TekanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang