Chapter 6

533 28 0
                                    

"Apa aku bisa berkata jujur?" tanya Vika dengan sedikit keberanian dalam diri. Ia menerima anggukan kecil dari Niko. Meski keraguan lebih mendominasi, ia berusaha fokus pada rasa berani.

"Sejujurnya, aku tidak pernah menginginkan pernikahan dengan Kakak." Matanya kali ini menatap pria di sampingnya. "Kita menjalani ini hampir tiga bulan, tapi aku melakukan itu semua hanya untuk membuat Bunda senang."

Keheningan menyerang dalam beberapa detik. Hanya suara mesin mobil terdengar. Mereka duduk di kursi barisan tengah, tanpa adanya asisten di sana. Sekarang ia ingin melepaskan keresahannya.

"Aku masih berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan semenjak Ayah tidak ada. Belum pernah ada pikiran tentang menikah di usia yang sekarang." Gadis itu melihat jelas tangan Niko yang mengepal kuat, tetapi ekspresinya masih tampak tenang.

"Aku tidak bermaksud mengecewakan siapa pun termasuk Kakak. Jika Kakak menginginkan pernikahan secepatnya, aku bukanlah jawabannya. Sekalipun usia Kakak mungkin sudah cukup matang untuk menikah," jelas Vika sembari mencoba memegang tangan Niko.

"Masih banyak hal yang belum aku selesaikan, Kak. Bahkan untuk pernikahan, aku sendiri belum mempersiapkan untuk ke arah itu," lanjut gadis tersebut yang kali ini memegang tangan kekasihnya dengan dua tangan.

"Maksudmu, aku harus meninggalkanmu begitu saja?" Wajah Niko terlihat sangat kesal. Ia tidak terima, perkataan itu seperti sangat mudah untuk dilakukan.

"Kak, aku mengakui kita sebagai saudara. Kakak adalah sepupuku. Kita masih dapat bertemu. Aku yakin kita bisa meyakinkan Ama dan Bunda untuk tidak melanjutkan perjodohan." Ia tanpa sadar memasang wajah memohon, sebab situasi yang semakin menegangkan.

Namun, untuk beberapa detik mereka hanya diam. Vika menunduk dengan kekecewaan, ia sendiri tahu akan sulit melepas hubungan ini.

"Apa kamu ingat kapan kita bertemu pertama kali?" tanya Niko dengan tenang.

Vika mengernyitkan dahi sejenak. "Itu saat beberapa bulan setelah Ayahku meninggal, bukan?"

Tiba-tiba pria itu tertawa kecil mendengar jawaban Vika. "Sekarang aku tahu. Mengapa kamu tidak mengatakan saja, bahwa kamu memang tidak menganggap hal ini penting?"

"Tidak, aku tidak bermaksud menganggap begitu, Kak. Hanya saja, aku terlalu muda untuk menikah, dan masih banyak masalah yang harus diselesaikan." Penjelasan bagaimana lagi yang harus Vika lakukan agar pria ini paham?

"Apa? Kamu tidak siap menikah karena apa? Jika kamu belum ingin memiliki anak, kita dapat menundanya. Dan juga masalah apa yang kamu maksud? Utang Ayahmu? Valdo yang ingin masuk militer? Aku bisa mengatasi itu, semuanya dapat diselesaikan jika kamu menikah denganku! Tidak ada yang sulit!" Tangannya tidak bisa diam pastinya, ia mencengkeram rahang kecil Vika begitu kuat.

Air matanya yang berusaha ditahan, seketika keluar membasahi suasana yang panas. Perlahan menetes dengan mata yang lesu. Awalnya ia mengira akan mendapat jalan tengah jika ia berkata jujur, tapi ternyata sama saja menyakitkan.

"Baiklah, aku minta maaf, Kak." Di sini Vika hanya sendiri, ia tidak ingin terjadi hal-hal yang lebih di luar dugaannya. Kepalanya juga terasa pusing dan tidak nyaman. Rahang yang malang itu pun turut merasakan sakit.

"Hanya meminta maaf dan kamu menganggap hal ini selesai?" Niko kembali tertawa singkat dan diam sejenak. "Semuanya akan tetap berjalan, Vika. Penolakan darimu tidak berguna."

-oOo-
Waktu sudah berlalu, kini semuanya kembali dimulai lagi di hari yang baru. Kegiatan rutin yang cukup membosankan, pastinya berangkat kerja. Sekarang ia sudah berdiri di luar pagar rumahnya, menunggu Niko agar tidak berlama-lama bertemu dengan pria tersebut.

TekanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang