QUEST DAY-1 || SPORA

40 9 2
                                    

Romanscience

Area

⋇⋆✦⋆⋇

RUANGAN dengan cat serba putih itu kini terasa lebih tenang dari sebelumnya. Di tengah ruangan ada dua buah inkubator yang menyimpan tubuh orang terjangkit. Berbagai selang yang melingkupi tubuh keduanya menandakan bahwa dia merupakan subyek penelitian.

Aku dan Ethan adalah dua orang yang ditugaskan untuk meneliti dan mencari obat penawar virus baru. Kami menamainya 'spore virus' dikarenakan virus itu dapat mengubah manusia menjadi spora yang kemudian menyebar untuk mencari mangsa baru. Lima puluh tahun berlalu semenjak corona virus melanda. Sejak saat itu, virus-virus baru mulai bermunculan. Namun ini adalah pertama kalinya muncul virus yang dapat meleburkan sel-sel manusia seolah orang itu memang tak pernah ada.

Sekarang adalah hari ke-90 kami melakukan penelitian pada dua orang yang terinfeksi virus. Sembari menemukan penyebab tubuhnya yang melebur, kami mencoba mengembangkan virus baik untuk melawannya. Berikut rincian gejala dari orang yang terjangkit virus spora ini :

[Minggu pertama]
Pasien terjangkit akan merasa pusing dan mual. Mulai kehilangan nafsu makan yang menyebabkannya menderita penyakit kekurangan gizi.

[Minggu Ke-2 - Minggu Ke-4]
Pasien terjangkit akan mengalami insomnia berkepanjangan.

[Minggu Ke-5 - Minggu Ke-6]
Pasien terjangkit mengalami demensia atau bahkan halusinasi parah.

[Minggu Ke-7 - Minggu Ke-11]
Pasien terjangkit mengalami koma. Tubuhnya mulai mengelupas.

[Minggu Ke-12]
Luka-luka mulai muncul di tubuh pasien terjangkit akibat pengelupasan kulit yang signifikan.

Semua yang terjangkit rata-rata mengalami gejala yang sama. Mungkin gejala yang muncul antara mereka semua hanya berbeda di hari. Itu semua tergantung sistem kekebalan imun dan faktor genetik masing-masing orang.

Kami berdua masih mengamati apa yang terjadi setelah Hari Ke-90. Pasien yang tak diberi cairan obat tubuhnya kian membesar sejak hari ke-83. Berbanding terbalik dengan pasien yang rutin diberi cairan. Meski tak dapat menghambat koma yang dialami, juga tak bisa menghentikan insomnia. Pengelupasan di kulit pasien berjalan lebih lambat. Selain itu, tubuh pasien yang diberi cairan beluk menunjukkan tanda-tanda pemhengkakan.

"Apakah obat ini akan berhasil?" Ethan bertanya.

"Entahlah, setidaknya sudah ada kemajuan dari obat yang kita ciptakan," jawabku.

Aku bersiap untuk memindahi seluruh data di website departemen. Tentang efek samping obat yang hanya bisa memundurkan proses pengelupasan dan pembengkakan. Sementara itu tubuh pasien yang tak diberi cairan kian membesar. Kami meletakkannya di inkubator untuk meminimalisir jangkauan penyebaran spora saat tubuhnya meledak. Tak selang lama suara ledakan terdengar. Kami berdua tersentak.

"Inkubatornya... bocor..." Ethan bergumam pelan sembari menarik tanganku untuk lekas keluar dari tempat itu. Benar saja, mata Ethan sangat jeli. Aku bahkan tak menyadari adanya kebocoran itu. Namun, aku belum bisa pergi dari sana. Masih banyak data yang perlu kusimpan.

"Amore!!! Cepatlah!! Apa kau ingin mati di sini?!!" teriak Ethan. Tangannya masih berusaha menarik tanganku. Aku menghempaskan tangannya.

"Diamlah!! Siapa yang ingin mati, bodoh! Aku juga ingin hidup, tapi aku tidak bisa hidup dengan meninggalkan tanggung jawabku. Kau pergilah lebih dulu!! Cepat keluar!! Tinggalkan aku sendiri!!" Aku tak kalah meneriakinya.

"Kau yang bodoh!! Mana bisa aku hidup tanpa orang yang kucintai?!"

Aku berdecak kesal. Dasar laki-laki bodoh! Kenapa kau menyatakan perasaan di waktu seperti ini? Bohong kalau aku tak merasa senang. Akan tetapi tak ada waktu untuk merasa berbunga-bunga ataupun senang. Banyak nyawa yang menjadi taruhannya.

"Sudah selesai!!" Aku menanggalkan alat-alat penelitian dan monitorku setelah berhasil menyimpan data-data spore virus. Aku menyambut uluran tangannya.

Sesaat setelah kami keluar dari sana. Tenggorokanku terasa seperti tersedak. Rasanya seperti ada serbuk yang masuk melalui pernapasanku.

"Apa kau menghirup sesuatu?!" Ethan bertanya panik. Aku menggeleng.

"Hanya tersedak ludahku sendiri," jawabku.

"Tapi... kenapa?" Ethan menyibak ujung rambutku yang menutupi wajah.

"Kenapa wajahmu pucat sekali?" Dia membelalakkan mata seolah baru saja menyadari sesuatu. Sebenarnya... sejak kapan kau mengalami gejala ini?"

Aku menghela napas panjang. Tersenyum pada Ethan. "Ah... ternyata kau menyadarinya juga, ya?"

"Dasar bodoh!! Kenapa sejak awal kau tak memberitahuku?"

Dia menunduk, tangannya mencengkram pundakku kuat. Kini, dia bahkan tak mau menatap wajahku dan hanya menundukkan badannya dalam penyesalan. Tapi... kenapa harus kau yang merasa bersalah?

"Sepertinya kata 'bodoh' adalah panggilan kesayangan kita, ya?" gumamku yang berusaha mencairkan suasana.

"Diamlah..." lirihnya. "Kalau tahu kau juga terinfeksi, aku pasti tidak akan kabur dari ruangan itu."

"Karena itulah aku tak memberi tahumu," jawabku.

Hari demi hari berlalu. Kondisiku semakin memburuk. Aku paham bahwa orang yang terjangkit akan sangat menderita. Namun ketika merasakannya sendiri. Rasanya lebih dari sekedar kata 'menderita'. Ethan masih berusaha keras untuk menemukan obat penawarnya sendirian. Ia berkali-kali mengunjungi tempat isolasi untuk menjengukku. Menanyakan kabar. Sesekali ia menceritakan perkembangan penelitiannya. Aku masih mendengarkannya setiap waktu, tapi aku seolah tak lagi memedulikannya. Aku hanya ingin berada di dunia dimana aku tak merasakan sakit seperti ini lagi.

Hari ke-12 Ethan datang. Kali ini ia datang dengan air muka keruh dan senyum yang ia paksakan. Ia membawa kotak cincin di tangannya dan berlutut di hadapanku. Sebuah kaca pembatas menjadi pemisah raga kami.

"Setidaknya... terimalah lamaranku."

Ah... apakah gejala halusinasinya sudah dimulai? Aku menggeleng seraya tersenyum padanya. Menyedihkan sekali. "Ethan... kau ini benar-benar bodoh, ya? Untuk apa menikahi orang yang akan mati?"

Meski begitu aku ingin mengakui perasaanku padanya. "Ethan... terimakasih karena sudah mencintaiku. Berkatmu, aku bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang."

Aku menyentuh kaca penghalang dengan telapak tanganku. Menatap wajah lelahnya lama sampai aku merasa puas. Setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Saat itu, aku merasa bahwa kilau air matanya jauh lebih terang dibanding cincin yang ia tunjukkan padaku. "Hiduplah yang lama. Berjanjilah bahwa kau akan menemukan obat itu untukku," ucapku lirih.

Ethan mengecup pelan kaca pembatas tepat pada telapak tanganku menyentuhnya. "Aku berjanji akan menemukan obat itu..." jawabnya lirih.

"Meski aku sudah tiada?" Sekali lagi aku bertanya untuk memastikan.

"Meski kau telah melebur dan menghilang..." katanya tercekat, ia terisak lirih kemudian menunduk lama, "...aku akan tetap mengingatmu," lanjutnya.

⋇⋆✦⋆⋇

End

[√] MemorabiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang