QUEST DAY-5 || HEALING

16 2 0
                                    

Romantic

Area

⋇⋆✦⋆⋇

"BAGAIMANA bisa hasil kerjamu menurun setiap bulannya?!! Apa kau pikir perusahaan tidak rugi, hah?!"

Akhir-akhir ini kondisi kesehatanku menurun. Mungkin memang karena musimnya. Tapi meski begitu, aku harus tetap bekerja demi memenuhi kebutuhan istriku. Kebutuhan keluarga semakin meningkat setiap bulannya. Sementara gaji yang dihasilkan tidak mengalami peningkatan,

"Gajimu kali ini saya potong!!"

... bahkan berkurang. Tidak semua orang yang di atas bisa memahami apa yang tengah terjadi pada bawahannya. Kali ini aki tidak bisa mengajukan protes, karena pada kenyataannya kerjaku akhir-akhir ini memang merugikan perusahaan.

Hari itu, aku pulang ke rumah dalan keadaan rusak. Kondisi kesehatanku sudah lebih baik dari sebelumnya. Jika saja gajiku tidak dipotong, aku pasti sudah melunasi cicilan rumah sekarang. Bahkan bisa mengajak istriku untuk bersenang-senang menikmati keindahan dunia luar. Sayangnya, takdir berkata lain. Beberapa orang menganggap bahwa bekerja di kantor merupakan impian banyak orang. Menganggap bahwa pekerjaan mereka hanya duduk manis di hadapan laptop, serta tidak perlu susah-susah mengeluarkan tenaga. Wajar jika mereka berpikir begitu, karena kenyatannya memanglah seperti itu. Akan tetapi itu semua hanyalah bagian kecil yang mereka lihat. Semua pekerjaan punya kesulitannya masing-masing.

Aku pulang pada tengah malam. Membuka pintu secara perlahan, karena takut jika suara kecil itu membangunkan istriku. Biasanya jika aku pulang sampai tengah malam begini, istriku akan menunggu dan tertidur di sofa. Lalu aku akan datang mengendap dan meindahkannya ke kamar. Akan tetapi ia selalu terbangun dan berkata, "Sudah pulang? Maaf, aku ketiduran."

Setelah itu dia pasti menolak untuk tidur dan menyiapkanku makan malam. Kadang ia ikut makan bersama, kadang ia hanya memerhatikanku makan di meja seberang. Kalau sudah begitu, aku akan bertanya kenapa ia tidak makan? Dan jawabannya selalu sama, bahwa dia sudah makan lebih dulu. Awalnya kupikir memang begitu, sampai suatu hari aku mulai mengerti bahwa setiap kali ia tidak makan malam bersama denganku. Itu artinya bahan masakan kami hanya cukup untuk satu orang, dan dia membiarkanku untuk memakannya. Setelah kejadian itu, aku selalu menyuruhnya untuk makan malam bersama dengan satu piring yang sama.

Hal-hal kecil seperti itu sudah menjadi rutinitas dan obat dari rasa lelahku di kantor. Senyumnya, tutur katanya, perhatiannya. Semua yang ia tunjukkan padaku sudah menjadi rutinitas harian yang tak bisa kutinggalkan. Hadirnya seolah candu yang membuatku tak bisa hidup tanpanya. Akan tetapi, di malam yang larut ini aku tak melihatnya tertidur di sisi sofa ataupun menyiapkan makanan di meja makan. Kali ini, aku melihat sosoknya yang berbeda dari biasanya.

Dia yang berkutat pada laptopnya di malam hari terasa sangat asing bagiku. Aku merentangkan telapak tanganki dari jauh. Membandingkan tubuhnya. Punggungnya terlihat sangat kecil. Bagaimana caranya badan sekecil itu menahan lapar dan bekerja keras selama ini? Tangannya ia letakkan pada bahunya, untuk memijatnya pelan. Jika dia sudah sampai kelelahan seperti itu, artinya dia sudah cukup lama berada dalam posisi yang sama. Aku menghampirinya, lantas memijat bahunya pelan. Ia berjengit.

"Kau sudah pulang?" tanyanya.

Aku tersenyum. "Kau sedang apa?" tanyaku.

"Aku mencoba mencari pekerjaan sebagai seorang penulis," jawabnya dengan wajah semringah, "... bagaimana menurutmu?"

Aku mengusap rambutnya pelan. Di balik wajahnya yang semringah, dia terlihat kelelahan. "Itu bagus, tapi istirahatlah dulu."

Dia benar-benar mematikan laptopnya, kemudian memutar tubuhnya ke hadapanku. Kemudian tersenyum lebar. "Aku punya hadiah untukmu," ucapnya dengan penuh semangat.

"Wahh, kelihatannya hadiahnya bagus sekali, ya?"

Dia pun mengangguk. Lantas menunjukkan dua garis merah pada alat tes kehamilan yang semula ia sembunyikan di tangan kirinya. Aku reflek memeluknya erat. Bagaimana mungkin aku tidak senang? Kami sudah menantinya selama empat tahun. Dia selalu terlihat murung setiap kali melihat tangisan dan suara bayi. Kami sangat merindukan suara tangisan yang katanya terasa sangat melelahkan. Pasutri mana yang tidak rindu direpotkan oleh bayi? Setiap pasutri yang normal pasti sangat merindukan saat-saat itu. Aku pun menangis di pelukannya. Kali ini, ini bukanlah tangis kesedihan ataupun lelah dengan hidup. Ini merupakan tangis bahagia yang tak semua orang bisa merasakannya.

Semua rasa letihku terbayarkan sudah.

⋇⋆✦⋆⋇

-End-

Yeaayy... akhirnya ada cerita yang happy ending juga, wkwkwk.

[√] MemorabiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang