QUEST DAY-15 || SWEET PSYCHE

13 1 0
                                    

Romanteen
Area

⋇⋆✦⋆⋇

HUJAN masih turun dengan derasnya. Aku mendongak untuk merasakan seberapa deras air itu menempa wajahku. Keras. Air yang menetes itu terasa cukup keras menghantam wajahku. Cuaca yang gelap dan suram seperti ini ternyata cukup mampu menggoyahkan hati, ya? Aku pernah mendengar tentang negara Finlandia yang merupakan negara paling sejahtera, justru memiliki angka bunuh diri yang tinggi. Katanya, cuaca saat musim gugur di sana sangat suram dan mendukung suasana hati yang sedang bersedih. Mungkin suasana yang seperti itulah yang membuat orang yang tengah berputus asa semakin terpuruk. Dan seperti itu juga yang kurasakan saat ini. Sudah beberapa surat lamaran yang kukirim ke berbagai tempat yang menyediakan lapangan pekerjaan untuk anak sekolah menengah. Namun, tak ada satu pun yang ingin menerimanya. Seolah langit sedang merayakannya, aku pun kembali pulang dalam keadaan langit yang menghitam. Menyedihkan.

Saat melewati pinggiran jembatan, tiba-tiba saja aku tertarik pada percakapan seseorang di telepon. Gadis remaja yang masih berpakaian lengkap itu terisak, dengan tatapan yang mengarah pada derasnya air sungai di bawah sana. Sepersekian detik aku baru menyadari bahwa seragam yang ia kenakan berasal dari sekolahku. Saat itulah aku tanpa sengaja mendengar percakapannya, dia menyebutkan layanan kesehatan mental. Lalu, aku masih di sana untuk mendengarnya tanpa dia ketahui. Aku tahu ini merupakan tindakan yang kurang sopan. Akan tetapi keputus asaannya saat itu benar-benar membuatku takut akan terjadi hal buruk padanya.

"Paman, ada seorang perempuan yang berdiri di dekat jembatan. Aku rasa dia ingin beristirahat di sungai yang berada di bawahnya. Tapi di sisi lain dia juga merasa takut akan dinginnya air sungai itu..." Gadis itu berhenti bicara. Dia menjauhkan teleponnya, lantas kembali terisak. Aku tidak tahu apa balasan di seberang telepon atas laporan gadis itu, tapi yang kutahu pasti gadis itu sedang merepresentasikan dirinya sendiri.

"Saya bisa merasakan kesepian yang ada dalam diri perempuan itu, juga kebahagiaan yang direnggut secara paksa dari hidupnya. Paman... Saya masih bimbang dengan keputusan saya. Apakah saya harus menyelamatkannya dan membiarkannya hidup dalam kesengsaraan? Atau haruskah saya membiarkannya untuk menjemput bahagia lain yang tak dapat ia temukan di dunia ini?"

Ah... gadis ini masih seusia denganku. Jalan hidup yang ditempuhnya pun masih sangat panjang. Mungkin, jika dia tak mengambil pilihan sulit seperti itu. Hidupnya akan jauh lebih baik dibanding diriku. Setelah berpikiran seperti itu, dia menurunkan ponsel dari sisi telinganya. Kemudian menjatuhkan ponsel dan tasnya begitu saja. Satu kakinya mulai menaiki pembatas jembatan. Dengan cepat aku mengejar dan meraih tangannya tepat sebelum tubuhnya jatuh ke sungai. Dia terisak. "A-aku takut," lirihnya.

"Tidak apa-apa. Bertahanlah sedikit lagi, aku akan membawamu ke atas." Dari sana aku mulai merasakan keinginan untuk bertahan hidup dari dirinya. Dia berulangkali menggumamkan kata aku takut sampai aku menarik tubuhnya ke atas. Gadis itu sepertinya sudah merencanakan ini semua dengan matang. Mulai dari memilih jalan yang jarang sekali dilewati orang. Bahkan sampai waktunya pun sangat pas. Sore hari dan hujan adalah waktu yang jarang digunakan orang untuk bepergian keluar.

Aku meletakkan jaket yang kukenakan pada tubuh gadis itu yang sudah basah karena terlalu lama bermandikan hujan. Bibirnya pun mulai terlihat pucat. Isakannya masih sedikit terdengar, meski air matanya sudah tersamarkan oleh air hujan. Aku di sana selama beberapa menit hanya untuk mendengarnya terisak. Hujan mereda. Dia bergumam pelan. Aku mendekatkan diri untuk lebih mendengarnya. Satu kalimat pertamanya tak terdengar olehku. Namun, di kalimat selanjutnya membuatku terheran.

"... ingin hidup. Aku tidak mau mati. Aku masih ingin hidup."

Kemudian tiba-tiba saja isakannya berubah menjadi jerit tangis yang menyesakkan. Tubuhku bereaksi secara spontan untuk memeluknya. Entahlah... aku tidak terlalu berpengalaman dalam hal menghibur seseorang.

"Aku masih ingin menikmati cokelat di musim hujan, aku masih ingin membaca novel keluaran terbaru dari penulis favoritku." Dia masih saja meracau saat kupeluk. Saat kudengar kalimatnya, aku bisa merasakan bahwa dia berasal dari keluarga berada. Lantas hal apa lagi yang membuat orang yang lahir di keluarga berada terlihat lebih tersiksa dariku?

"Kalau begitu, jadikan itu semua sebagai alasan kau bertahan." Entahlah... apakah aku sudah benar berkata seperti ini? Apakah kata-kata spontan yang keluar dari mulutku mampu menenangkannya. "Aku akan menemanimu membaca dan membawakanmu secangkir cokelat di kala kau kedinginan. Jadi tolong jangan merasa kesepian lagi," imbuhku sembari menepuk pelan punggungnya.

⋇⋆✦⋆⋇

-End-

[√] MemorabiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang