QUEST DAY-9 || MOMENT

9 1 0
                                    

Romanteen
Area

⋇⋆✦⋆⋇


"AMORE! coba lihat ke sini?"

Lagi-lagi anak itu datang tiba-tiba dengan kameranya. Dia sangat suka dengan hal-hal yang berbau fotografi. Maka dari itu dia sekarang menjadi ketua klub fotografi di sekolah. Dia bernama Ethan. Kami berteman sejak kecil sampai saat ini. Saking seringnya kami berdua, banyak orang yang mengira bahwa kami tengah menjalin hubungan. Tentu saja itu semua salah. Kami hanyalah teman, dan aku tidak pernah menganggapnya lebih dari itu.

Kadang kala aku penasaran kenapa dia bisa sesuka itu dengan fotografi, lalu saat kutanya apa alasannya, dia menjawab bahwa karena foto bisa mengabadikan apa yang sebenarnya tidak abadi.

"Kadang kala kita bisa melupakan suatu momen, tapi saat kita melihat kembali hal-hal yang berkaitan dengan momen tersebut kita tiba-tiba saja kembali teringat. Yah... begitulah. Contoh aja sewaktu kecil kamu pernah nangis gara-gara eskrimmu jatuh. Seandainya aja Mama nggak foto kamu waktu itu. Kamu yang sekarang mungkin benar-benar melupakannya, kan?" ucapnya kala itu.

Akan tetapi, suatu hari ia lebih sering memfoto dirinya sendiri. Saat kutanya apa alasannya dan menganggapnya narsis. Dia justru menjawab, "Supaya kamu bisa mengingatku suatu saat nanti."

Awalnya aku hanya menganggap ucaapnnya sebagai angin lalu. Sampai suatu hari, pada pertengahan semester dia seringkali izin. Guru berkata bahwa Ethan sakit. Dari sanalah rasa penyesalanku dimulai. Bagaimana mungkin aku yang merupakan temannya sejak kecil tidak mengetahui hal sepenting itu.

Aku merasa malu pada Ethan sampai-sampai tak berani untuk menemuinya. Meskipun begitu, kekhawatiranku sepertinya lebih besar dari rasa maluku. Terbukti dengan diriku yang saat ini sudah tiba di rumah sakit tempat Ethan dirawat. Aku menyapa mamanya yang baru saja keluar dari ruangan. Akan tetapi wanita dewasa itu tiba-tiba saja menghentikanku yang ingin menjenguk Ethan.

"Sebelum masuk kamu harus mempersiapkan hati terlebih dulu," ujarnya dengan wajah letih.

Aku menatap wanita ini bingung. Tolong, siapapun katakan kepadaku bahwa penyakit Ethan tidak separah apa yang terlintas dalam benakku saat ini.

"Kemungkinan besar Ethan sudah melupakanmu sekarang karena penyakit yang dideritanya." Mama Ethan kembali berucap.

"Tante... Ethan tidak separah itu, kan? Mungkin dia lupa karena terlalu shock atau terkena amnesia disosiatif yang akan kembali lagi saat waktunya tiba." Sejujurnya kalimat itu hanyalah penenang untuk diriku sendiri. Tapi Mamanya tersenyum lemah dan menunjukkan sebuah album padaku.

"Ethan menderita Alzheimer, dan album ini berisi kenang-kenangannya tentangmu. Meskipun dia tidak bisa mengingatnya, mungkin kamu bisa menceritakan lagi padanya." Mama Ethan mengusap matanya yang mulai berair.

Aku tak bisa menangis saat ini, meski sudah melihat seorang ibu sedang menangis di hadapanku. Aku bertanya-tanya tentang apa yang ada di dalam buku album ini.

Mama Ethan menepuk pundakku pelan. "Renungkanlah dulu di sini, setelah itu masuklah. Tante titip Ethan," kemudian wanita itu tersenyum sembari beranjak meninggalkanku.

Aku membuka lembaran satu persatu album tersebut. Aku memang sudah menduga bahwa isi dari album ini merupakan hasil dari jepretannya selama ini. Tapi tak kusangka semua foto itu adalah tentangku. Tempat bermain kami saat di taman kanak-kanak, restoran yang pernah kami kunjungi, bahkan eskrim dan makanan yang kusukai pun tak luput dari jepretan indahnya. Sekilas semuanya yanya terlihat seperti foto biasa, jika saja aku tak iseng mengeluarkannya. Aku menyadari ada sebuah tulisan di balik fotonya.

"Tempat Amore menangis karena eskrimnya jatuh."

Aku tertawa. Awalnya begitu, tapi semakin kubuka dan baca. Tanpa sadar aliran hangat sudah menuruni pipiku.

"Amore yang selalu tersenyum indah. Apakah aku masih memiliki kesempatan melihat senyumnya?"

"Amore selalu menggoyangkan kepalanya saat merasakan makanan yang menurutnya enak. Apakah aku masih bisa mengingat tingkah lucunya itu setelah ini?"

"Jalan pagi dengan Amore. Dia selalu saja mengeluh capek, karena itulah aku tidak tega dan akhirnya menggendongnya. Lagi pula siapa yang meyuruhnya memakai sepatu dengan sol tinggi saat sedang jalan pagi?"

Beberapa catatan lainnya tak bisa kungkapkan di sini. Setelah mengusap air mata dan menenangkan diri. Aku kembali menuju niat awalku untuk mengunjunginya. Dia tengah duduk di kasur sembari memandang ke luar jendela. Dia memandangku bingung saat aku memasuki ruangannya.

"Siapa?" tanyanya.

"Orang yang akan menemanimu sampai kau sembuh," jawabku.

"Ah, aku sudah punya orang yang seperti itu. Orang yang kusebut sebagai Mama." Dia kembali memperhatikanku sejenak dengan waspada. "Duduklah," ucapnya kemudian. Dia menepuk-nepuk sisa tempat yang kosong di kasurnya.

"Apakah kita saling mengenal sebelumnya?" tanyanya kembali setelah aku duduk di sampingnya.

Aku mengangguk. Dia lantas menunduk dan tersenyum kecut. "Ah, maaf karena aku tak mengingatmu."

Sejujurnya kenyataan bahwa Ethan sudah melupakanku dan semua kenangan kita sudah cukup untuk mencubit hatiku. Tapi permintaan maafnya terasa seperti sesuatu yang sudah menindih hatiku sampai rasanya sesak sekali. Dia tidak ingin melupakannya. Penyakit itu juga di luar kehendaknya. Lalu kenapa dia harus meminta maaf?

"Tidak apa-apa. Itu bukan salahmu, kau tidak seharusnya meminta maaf," ujarku. Aku mengambil satu buah apel yang kubawa lalu mengupasnya.

"Apakah aku menyukai buah itu juga?" Dia kembali bertanya.

Aku mengangguk. Dulu dia selalu memakan buah apel pemberianku dengan senang. Aku lantas memberikan sepotong apel yang sudah kukupas padanya. Dia langsung menggigitnya.

"Ah, begitu ya... Kurasa makanan apapun yang diberikan dengan tulus pasti akan terasa nikmat. Mungkin apel ini dan apel sebelum ini juga begitu. Rasanya terasa baru dan familiar di saat bersamaan."

Setelah itu hari-hari terus berlanjut. Menemani Ethan sudah merupakan rutinitas untukku. Berkali-kali Etuan melupakanku, berkali-kali pula aku mengenalkan diriku padanya. Rasanya seolah aku telah mengulang waktu berkali-kali karena pembicaraan kami yang nyaris sama setiap harinya.

Lalu suatu hari, saat ujian semester berlangsung. Aku tak bisa mengunjunginya dengan bebas seperti sebelumnya. Sampai kabar pahit itu datang. Ethan sudah pergi. Ia sudah tak lagi merasakan rasa sakit. Harapannya untuk sembuh terkabul, meski dengan cara lain.

Lalu aku pun kembali menjalani hari-hariku seperti biasa. Namun, kini Ethan sudah tak lagi di sampingku. Tak ada lagi anak laki-laki iseng yang suka mengabadikan setiap kegiatanku. Mama Ethan memberikan satu album yang berisi diriku dan satu album lain yang sudah diwasiatkan Ethan lebih dulu pada Mamanya untuk diberikan padaku.

Aku sudah pernah membuka album yang berisi tentanngku. Namun, album yang sudah diwasiatkan Ethan itu adalah album yang berisi dirinya. Aku sudah tahu, karena aku pernah membukanya sekali sebelum akhirnya menangis hebat karena tak kuat menahan sakitnya. Semuanya lebih menyesakkan saat aku menyadari bahwa orang di foto yang kulihat sudah tak dapat kurasakan lagi kehadiran dan sentuhannya.

Lalu tahun-tahun pun berlalu. Aku masih tetap tak berani membukanya. Foto-foto Ethan yang tersenyum bahagia mulai terasa samar di benakku. Semakin beranjak dewasa, kenangan yang muncul semakin terlihat buram. Namun aku masih belum memiliki keberanian untuk membukanya. Entah sampai kapan...

⋇⋆✦⋆⋇

-End-

[√] MemorabiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang