"Akhirnya kalian datang juga."
Suara berat barusan merebut seluruh perhatian. Seolah-olah kehadiran Abraham begitu paling utama, hawa ruangan ini terasa agak mencekam. Sebetulnya, hanya Kaira yang merasa begitu. Ia mendadak tegang. Karena, perihal apa pun yang papinya bicarakan, pasti selalu hal serius. Apalagi sejak sang mami memberitahu sesuatu padanya; bahwa ia akan dijodohkan dengan seseorang.
Bagaikan de javu, Kaira dan Liam lagi-lagi dipertemukan dalam sebuah ruang tamu yang sama seperti di hari kemarin. Bedanya, kali ini Abraham tampak menyertai mereka dan duduk di sebuah kursi tunggal. Martha terlihat duduk bersebelahan dengan Kaira, begitu pun dengan Elenna yang samping Liam.
Omong-omong, Kaira merasa lebih curiga dari hari kemarin.
"Liam ... kamu setuju kan, kalau om jodohkan dengan putri om?" tanya Abraham, membuat pikiran Kaira membuyar.
Liam tersenyum kecil, lalu melempar tatap pada Kaira. Tentu ia sudah setuju dari jauh-jauh hari semenjak Abraham membicarakan ini. Meski nyatanya Liam pun sempat syok, karena putri seorang Abraham ternyata anak bimbingnya sendiri.
Dan Liam sendiri pun tahu, bahwa pertanyaan tersebut Abraham gunakan sebagai pendorong bukti kesungguhan pada putrinya. Karena seorang Abraham, biasanya selalu melakukan suatu inginnya yang menurutnya baik tanpa banyak bertanya.
Please, ini kesempatan emas banget buat gue. Bilang no, bilang no! Gue janji, bakalan nyariin lo cewek—
"Saya setuju, Om."
Kaira nyengir tidak ikhlas. Kenapa cuma Liam yang ditanya?
Elenna mengusap-usap bahu Liam, menunjukkan rasa bahagia kala mendengar itu. Setidaknya, beban pikirannya berkurang. Jikalau pun ia harus tiada secepatnya, Liam sudah ada yang menemani dan tak akan kesepian lagi.
"Tapi terlepas dari itu ...," jeda Liam yang lagi-lagi menatap Kaira. Semua orang tampak benar-benar menunggu kelanjutannya. "Mungkin Om bisa tanya Kaira, dia setuju apa tidak."
Kaira membelalak. Martha mengusap rambutnya dengan sangat manis.
Kalau gue bilang enggak mau, kayaknya bakalan percuma. Pasti mami bakalan ngadu ke papi soal Saga. Ergh!
"Kaira?" tegur Abraham.
Liam membantu memberi alasan, supaya Kaira hanya melanjutkan saja, "Soalnya saya khawatir, kalau Kaira tidak bisa fokus untuk melanjutkan skripsi. Ya ... memang tidak ada larangan dalam sistem perkulihan Universitas Gemilang, asalkan skripsinya tuntas sesuai waktu yang sudah ditentukan."
HAH IYA JUGA! KOK GUE GAK KEPIKIRAN SIH PAKAI ALASAN ITU?
Kaira mengangguk-angguk cepat dengan mata yang berbinar, seolah-olah mendapat pencerahan.
"Loh. Emang kenapa, Nak Liam? Lagian kan kamu pembimbingnya Kaira. Justru kalau kalian menikah, jadi lebih sering ketemunya, kan?" celetuk Martha.
Waduh, iya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transcendent
RomanceHati Kaira hancur berkeping-keping usai diputuskan oleh Saga-sang mantan gebetan yang sudah ia incar sejak lama. Seolah-olah luka itu tak cukup memberinya pelajaran, semesta pun mempermainkannya melalui tindakan sang mami yang tiba-tiba menjodohkann...