06. Sebuah Alasan

62 6 25
                                    

Dentingan piring terdengar dari arah ruang makan saat Martha menyajikan sarapan di atas meja kaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dentingan piring terdengar dari arah ruang makan saat Martha menyajikan sarapan di atas meja kaca. Kaira yang terbiasa sarapan sambil menonton kartun di ruang TV, kini bergabung dengan papi maminya. Sejujurnya, ia paling malas makan bersama seperti ini. Bukannya tak mau bersyukur, tetapi ia ingin mengamankan hatinya dari hujaman siraman rohani papinya. Apalagi sejak adanya perjodohan. Sepertinya, bahan nasihatnya akan bertambah lebih banyak.

"Ayamnya, Pi?" tawar Martha usai mewadahi nasi untuk Abraham, yang lekas disahut oleh anggukan. "Sayur?"

Sayur bening yang Martha beli dari warung sebelah hanya tersisa satu bungkus. Mengingat Kaira yang jarang sekali makan sayur, papinya pun menolak halus, "Sayurnya sedikit, ya? Buat Kaira aja, Mi," katanya dengan tersenyum.

Kaira menghela dalam, lalu melanjutkan sarapan sambil menatap pasrah nasinya yang diguyur sayur bening.

Tin!

"Itu pasti Liam!"

Kaira nyaris tersedak. Ia menoleh pada maminya yang terlihat sangat antusias. Begitu pun dengan Abraham yang menunjukkan raut seri sambil mengunyah.

"Kok pagi-pagi udah ke sini? Ada apa?" Kaira bertanya, tetapi nadanya terdengar seperti protesan.

"Ya jemput kamu dong, Sayanggg," gemas Martha sambil mencolek hidung putrinya.

Harus banget ya, gue nempel mulu sama dia?

"Ajak masuk, Mi. Kita sarapan bareng,"  pinta Abraham penuh senyum sambil melirik Kaira. Yang ditatap melambankan kunyahan seraya menatap kepergian maminya. "Senyum dong, Nak. Kamu tuh cantik loh, cemberut terus."

Seperti biasa, Kaira nyengir tidak ikhlas. "Iya, Pap."

Martha dan Liam terlihat masuk. Aroma maskulin seketika memenuhi ruang makan. Jujur saja, Kaira sangat suka aroma gentle seperti ini. Begitu pun dengan gaya lengan kemejanya yang sedikit dinaikkan—seperti yang pernah Bulan katakan—membuatnya terlihat makin keren.

Ck. Apaan dah. B aja, b aja. Kaira kembali melanjutkan sarapannya.

"Duduk, Nak." Martha menarik kursi untuk Liam. Pria itu mengangguk sopan, lalu duduk di sebelah Kaira.

"Terima kasih, Tante, Om. Maaf nimbrung pagi-pagi ke sini." Liam melirik Kaira yang sejak kedatangannya cuek-cuek saja padanya.

"Ehh, gak apa-apa. Justru tante sama om seneng banget kamu mau kami ajak sarapan bareng di sini." Martha menyahut heboh sambil menarik kursi dan duduk di sebelah suaminya. "Ayo ambil aja, Nak Liam. Jangan malu-malu. Itung-itung belajar, kan nanti bakalan sering makan bareng kayak gini," imbuh Martha yang lagi-lagi riweuh.

"Kaira, coba bantu Liam-nya," tegur Abraham yang melihat putrinya sibuk makan sendiri.

Harus banget gue yang wadahin sarapannya?

TranscendentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang