Gagal

26 15 0
                                    

Maret 1947

Aku seorang rakyat biasa yang menyukai keseharian ku dengan melukis pemandangan. Orangtuaku hidup mencari nafka dengan membuka usaha toko makanan. Aku juga memiliki saudara laki-laki yang suka menjadi pria yang terhormat. Ia adalah salah satu pria yang memiliki kehormatan tertinggi untuk menjaga negara. Aku tersenyum sipu saat mendengar kehebatan dari kakakku. Aku mengangkat kepala ku melihat pemandangan yang indah dan menurunkan kepala menatap lukisan potretku.

"Sepertinya aku harus berhenti sampai disini, hari ini sudah mulai gelap. Kira-kira orangtuaku bakal masak apa yah malam ini." Aku membereskan perlengkapan melukisku. Aku berjalan sambil mengangkut peralatan melukisku dengan berhati-hati agar tidak jatuh.

Berjalan dari hutan ke hutan kemudian melihat perkumpulan desa yang dipenuhi dengan banyak orang. Aku berjalan dengan matahari yang mulai perlahan menghilang. Suasana kota menjadi warna keunguan dengan sunset yang indah. Aku berhenti dan tercengang melihat keindahan dunia. Tanpa sadar seseorang menabrakku dan membuat alat melukisku berjatuhan berhamburan. Saat terjatuh tanpa sadar kanvas lukisanku tersobek ketika jatuh. Aku panik dan mengambil kanvas hasil lukisan ku tadi. Menatap sedih melihat kanvas sudah berlubang dan sobek.

"Ahhhh maaf maafkan aku. Apa kamu tidak apa-apa, duhhh jadi sobekk lukisannya maafkan aku." Perempuan itu segera membantuku dan menyusun semua peralatan melukisku.
"Tidak apa-apa kok aku bisa melukisnya lagi." Aku tersenyum kembali dan berdiri ketika ia sudah membantuku mengambil peralatanku yang sudah jatuh. Padahal aku tidak akan bisa melukis lagi karna harganya yang sangat mahal.

"Maafkan aku, ini aku akan mengantinya, tenang saja ini kartu namaku. Kamu bisa menghampiriku di tempat ini." Ia memberikan kartu nama perusahaannya dan buru pergi.

"Sekali lagi aku minta maaf yahhh..... aku sedang terburu-buru." Ia berteriak sambil berlari menjauh dan melambaikan kedua tangan ketika berlari. Aku hanya diam. Aku tersenyum kecil pasrah dan berjalan kembali ke rumahku.

"Aku pulang..." aku membuka pintu rumah dan berjalan ke arah tangga di rumah.
"Heiii kemana saja kamu, hari sudah mau malam begini baru kembali." Ayahku yang marah menghampiri ku dari arah dapur.
"Aku tadi melukis sungai yang ada di samping desa kita saja, tidak jauh kok." Aku berteriak dari arah kamar sambil meletakkan semua peralatanku. Ketika meletakkan barang-barangku kartu nama itu keluar dan jatuh ke lantai. Aku mengambilnya dan melihat tulisan "The Eclipse MoonLight" "689110".
"Aneh sekali nama perusahaan apa ini. Sangat mencurigakan. Sayang sekali padahal aku tidak akan bisa membeli lukisan lagi. Bagaimana nanti aku mendapatkan uang. Setelah menghabiskan biaya untuk ini. Apa aku harus menyerah atau harus menghubungi perempuan ini." Aku bergumam sambil melihat lukisan kanvasku yang sobek.

"Sadria.... Turun nakkk kita makan dulu." Teriak ibu dari dapur terdengar hingga di kamar.
"Baik bu.." aku menjawab teriakan ibuku.

Aku menaruh kartu itu ke atas meja belajarku dan keluar dari pintu. Bukkkk... aku menabrak sesuatu lagi.
"Heii hati-hati kalo jalan, liat liat lah..." kakakku marah sambil memegang kepalanya.
"Duhh kenapa hari ini banyak yg menabrakku. Minggir aku mau lewat." Aku berusaha keluar dari tempat sempit itu dan turun menuju tangga dapur.

"Baru juga datang udah ribut aja.. makan sini." Ibu ku menaruh sup ke mangkok yang sudah disiapkannya tepat ke arahku. Aku mengambil sendok dan gembira sambil mengirup air sup. Tak lama kemudian kakakku turun dan duduk di sebelahku dan mengambil sendok sup.

"Bagaimana hari ini, apakah lancar nak." Ayahku yang duduk di depan kakakku membuka pembicaraan.
"Seperti biasa, ayah aku akan sibuk perang saat ini. Mohon doanya supaya selamat. Aku merasa negara ini mulai dihadang kelaparan. Ayah yakin persediaan makanan kita masih cukup. Aku tidak ingin kedua orangtua ku kelaparan. Aku akan memberikan semua uang ini untuk kalian." Kakakku memberikan uang hasil kerja kerasnya dan memaksa ayah untuk mengambilnya.

"Hahaha.... Kamu pikir kami ini apa. Liat kami berdua masih kuat kok. Kamu simpan saja uangnya itu untuk kamu saja. Itu uangmu kami tidak berhak mengambilnya. Kamu seharusnya menggunakan uang itu untuk perempuan manismu. Agar ayah dapat cucu hehe..." ayah menaruh uang ke arah kakakku.
"Ayah benar, lebih baik kamu gunakan untuk pernikahanmu. Kami berdua tidak perlu itu. Ngomong-ngomong gimana usaha mu nak." Ibu menoleh ke arahku.
"Ehhhh anu...."

"Hmm..." ayah menghela nafas panjangnya.
"Kamu sebenarnya mau jadi apa sihhh. Hari-hari kamu selalu menghamburkan uang orangtua. Kamu tidak lihat kondisi kita. Mau sampai kapan kamu manja seperti ini." Kakak berteriak ke arahku.
"Ahhh sudah-sudah jangan bertengkar lagi. Udah kakak kasian adikmu." Ibu mencoba menenangkan suasana.
"Ibu jangan memanjakan Sadria terus. Dia sudah 22 tahun sudah besar seharusnya dia sudah mendapatkan pekerjaan atau menikahi para laki-laki." Pada zaman ini perempuan sudah mendapatkan jaminan pekerjaan namun harus memiliki calon suami. Karna dalam negara mereka dianggap tabu jika perempuan tidak menikah. Biasanya para bangsawan akan menjodohkan anaknya dengan para bangsawan juga. Demikian dengan rakyat biasa.

"Aku sampai kapanpun tidak akan pernah mau menikah." Aku menghentakkan meja dan pergi membuka kan pintu.
"Tunggguuu Sadria.." teriak ibu mengejarku.

Aku berlari sekencangnya dan berlari menjauh dari rumah itu.

Arthea the Blue MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang