Titik Terang (3)

2 0 0
                                    

Aku hanya diam tidak memberikan respon sama sekali. Aku hanya fokus melihat sayur yang ada di depanku. Ia terus berbicara dan berbicara tanpa henti mengenai masalahnya dan orangtuanya. Serta keluh kesah yang sangat tidak ingin aku dengar sama sekali.

"Kurasa sebaiknya kamu mencoba untuk percaya dengan orangtua mu. Ini keranjang berisi jualanmu aku ingin kamu menghitungnya. Ayo mulai menghitung harga belanjaan ku di sini." Aku memberikan keranjang berisi bahan makananku ke dia. Aku mendorongnya ke arah perutnya. Ia memegang keranjang itu lalu menuruti keinginanku.

"Ayah ini hitunglah. Kali ini dia membayar. Aku tidak bohong" Lionel memberikan keranjang belanjaan ke ayahnya. Ayahnya tersenyum bangga lalu menghitung harga jualannya.

Aku masih terpaku dengan alat kasir yang digunakan penjual itu. Ia menekan tombol akan memberikan angka sesuai dengan harga yang diperlukan. Saat angka dihitung benda itu akan membuka sebuah laci yang berisikan uang. Benda ini sangat keren dan membuatku sangat takjub karena di era ku sama sekali tidak ada benda ini.

Aku melihat uang milikku tidak cukup karena sehabis membeli kalung dari toko sebelumnya. Aku mencari di kantung lain dan menemukan mutiara.
"Maaf aku hanya punya ini, kurasa uang milikku tidak cukup. Tapi tidak apa aku berikan semua uang dan mutiaraku ini." Aku memberikan uang dan 6 mutiara ke ayahnya sekaligus. Mereka semua kaget, jika mutiara itu sangat sulit di dapatkan. Ayahnya melihat dan menggigit mutiara itu.

"Ini asli... tapi ini kelebihan. Kurasa tidak perlu satu saja cukup." Ayahnya berusaha mengembalikan mutiara yang aku berikan kepada mereka.

"Tidak perlu aku punya banyak. Terimakasih mungkin aku akan kembali lagi." Aku membawa belanjaan ku pergi dengan bungkusan kertas. Lalu aku pergi kembali ke rumah.

"Ahh... anu." Lionel membuka kan pintu toko sesaat aku mulai berjalan keluar pergi.

"Namamu... aku akan mengganti jika perlu." Ia berteriak saat membuka pintu toko di mana aku sudah siap untuk pergi.

"Panggil saja Sandria Niamh." Aku berbalik dan tersenyum ke arahnya.

"Sandria terimakasih......" ia melambaikan tangan untuk berpisah. Mungkin aku tidak akan kembali lagi ke tempat itu. Aku tidak tau tapi entah mengapa aku sangat iri melihat keberadaan mereka.

Aku berjalan pergi dari pasar menuju perjalananku kembali menuju rumah. Aku ikuti perjalanan dari rumah ke rumah yang dipisahkan hutan dan pertanian. Kemudian menemukan hutan dari hutan terus maju. Hingga aku melihat sebuah tanda yang di berikan Dexter. Aku menyusuri hutan demi hutan dan menemukan Kabin yang kami tempati bertiga di dalam hutan belantara.

Sesaat di pintu kabin depan, aku mengetuk dan mengucapkan salam kembali pulang.

"Kenapa lama sekali. Waktu sudah hampir gelap baru kembali." Courtney muncul dari arah dapur di saat dia berada di sebelah Dexter. Mereka seperti membicarakan sesuatu yang tak perlu aku cari tau.

"Maaf aku hampir tersesat tadi." Aku meletakkan hasil belanjaanku di kulkas yang ada di kabin itu. Aku menatanaya satu persatu. Benar di dalam hutan tidak memiliki aliran listrik. Namun, berkat kepintaran Dexter ia bisa membuat listrik dari sistem generator angin, air dan Cahaya atau tata surya. Ia sangat pintar mengurusi hal seperti itu. Bahkan ia bisa memperbaiki kerusakan alat yang kami gunakan. Ia sangat berbakat selain bisa membuat obat dan menyembuhkan dia juga ahli memperbaiki barang.

"Jika seperti itu bukannya lebih baik jika aku saja yang pergi." Courtney berjalan ke arah belakang ku, melihatku sedang menyusun hasil belanjaanku.

"Ayolah Courtney tidak perlu dikhawatirkan aku bisa menjaga diriku." Aku yang menunduk sedang menyusun bahan di kulkas berdiri menghadap ke arah Courtney.

"Taa..."

"Na... ah... aku cukup di sini menjaga Dexter dan Dexter menjaga Courtney. Aku tau hubungan kalian sudah sampai di mana."

"Ehm ahh.. ihhh itu..." Courtney malu dan wajahnya memerah. Mendengar percakapan itu Dexter pergi ke ruangan kerjanya.

~~~~~~

10 hari kemudian kami berada di kabin sudah lama tidak kembali ke rumah Diaz. Di saat aku bosan di kabin, aku pergi keluar menyusuri hutan belantara. Aku pergi menjauh dari kabin, menuju ke hutan lebat dan sangat lebat. Di dalam hutan yang lebat dipenuhi dengan hewan penghuni hutan di sana. Suara angin kencang riuh bersiul di sela-sela daun hutan. Cahaya matahari mengedip di sela dahan pohon saat berjalan di setiap pohon yang kulewati. Aku melihat sebuah lapangan luas yang tidak ditumbuhi pohon. Lapangan luas melingkar ditengahnya terdapat pohon besar yang akarnya keluar membentang besar. Sehingga tidak ada tempat bagi pohon kecil dapat menempati tempat itu. Udara sejuk keluar menandakan akan turun salju hampir tiba. Aku menghampiri pohon besar itu lalu duduk di sana dan menatap awan di sana. Saat aku mulai duduk di bawah pohon besar itu. Terdengar suara gemerisik muncul dari atas pohon. Daun-daun bergerak tiba-tiba ada suatu muncul dari atas.

Brukkkk... suara seperti seseorang mengenaiku dari atas jatuh dari dahan pohon. Aku menutup mataku melindungi daun yang akan jatuh di atas mataku. Aku tidak bisa berangkat seakan-akan aku menimpah sesuatu. Tanganku terasa dipegang oleh seseorang.

Saat aku membuka mataku dan melihat tangangku digenggam oleh seseorang entah dari mana asalnya.
"Ahh maaf... ehh?? Kenapa kamu di sini." Jawab seseorang bingung di saat yang bersamaan aku juga ikut kebingungan. Aku menoleh ke arah wajahnya dan ia pun ikut kaget melihatku.

"Kamu...." Secara serempak kami berteriak bersamaan.
"Apa yang... kenapa kau disini... tunggu apa yang kau lakukan?... ini aneh..." kami serempak berteriak, ia melepas genggaman tangannya. Kami spontan berbicara bersamaan. Saling menunjuk satu sama lain. Melihat arah yang sama satu sama lain.

"Ini aneh seharusnya perempuan tidak berada di sini sendirian. Bukannya kamu wanita yang tersesat di pasar sebelumnya." Ia menawarkan tangannya untuk membantuku berdiri. Secara bersamaan kami berdiri dan saling membersihkan diri.

"Ehm aku... seharusnya kamu yang aneh kenapa kamu berada di hutan begini. Bahkan berada di atas pohon lagi." Aku menyilangkan tanganku melotot ke arahnya dengan muka tegas.

"Ahhh.... Aku akan cerita tapi kamu juga harus cerita. Sebenarnya aku kabur dari rumah. Aku lelah hidup di genggam tangan mereka aku ingin hidup bebas. Jadi aku lari dari rumah dan tersesat di hutan ini. Aku tidak tau harus tidur di mana jadi yah aku memilih untuk tidur di atas pohon. Terus aku mendengar sesuatu dari bawah. Aku pikir itu ayahku, jadi aku mengintip dari atas. Malah terjatuh mengenaimu." Ia menjelaskan sambil menggaruk kepala belakangnya.

"Ohh... masa puber yang dalam fase pemberontak yah. Kamu bertengkar lagi dengan orangtuamu. Seharusnya kamu pulang." Aku mencubit pipinya dan mengerutkan dahi mengomelnya pulang.

"Heyy... jangan begitu... aku sudah ceritakan kejadianku saatnya kau menceritakanku kenapa kau di sini. Ouchhh aw.." Ia melepas cubitan pipinya dari tanganku. Saat berbicara ia memegang kakinya. Kakinya bengkak seperti ternyata kakinya terkilir akibat jatuh dari pohon.

"Awh kamu terluka.. duduk sebentar aku cari obat untukmu. Jangan bergerak. Percaya padaku aku akan cerita jika mengobatimu terlebih dahulu." Aku menyuruhnya untuk duduk dulu di bawah pohon besar itu. Kemudian aku pergi mencari tanaman obat yang diperlukan untuknya.

Arthea the Blue MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang