Bulan

22 15 0
                                    

Perempuan berbaju hitam dengan rok putih itu membawaku ke salah satu ruangan. Kami berjalan di lorong yang penuh dengan pintu. Kami berjalan setiap lorongnya dan berhenti di salah satu pintu besar. Kemudian ia membuka kan pintu. Di sana aku melihat kasur yang lebar serta alat perabot selayaknya perempuan.

"Kau mau membawaku kemana."

"Ini ruanganmu nona, kami sudah menyiapkan seluruh perlengkapan yang anda inginkan. Jika nona ingin sesuatu silahkan tanyakan ke saya. Saya sebagai kepala pelayan nona. Nona bisa panggil saya Esmeralda." Ia menuntunku berjalan ke kasur, dengan kaki yang mulai terasa melumpuh. Kaki ku yang bergetaran itu terasa seperti tidak memiliki kaki. Ia membaringkan ku di kasur. Lalu mengeluarkan kursi roda dari lemari besar. Ia menarik kursi roda itu dan mendorong kursi roda itu ke arahku.

"Apa aku tidak bisa berjalan lagi, kenapa aku tidak bisa merasakan kakiku saat ini." Aku yang terbaring mengangkatkan tubuh lalu duduk di kasur itu.

"Seharusnya tidak begitu, mungkin itu efek samping kelelahan menahan Arthea. Tenang saja nona kami sudah menyediakan segala hal ini. Ketika nona tidak bisa bergerak kami sudah bersiap. Mungkin nona bisa berjalan lagi. Sebelumnya nona bisa berjalan kan."

Aku menatap kakiku dan memukulnya. Kemudian pelayan itu berlari ke arahku memegang kedua tanganku. Aku mulai merintikkan kedua air mataku.

"Aku sangat manja sekali.... Mudah sekali menangis. Aku ingin semua ini berakhir. Kumohon lepaskan aku." Aku terus mencoba menggerakkan tanganku untuk memukul kedua kakiku. Pelayan itu hanya bisa menahan rasa kesedihannya terhadapku. Ia menahan tanganku agar tidak memukul kakiku. Kemudian ia melepaskan tanganku lalu memelukku.

"Ku bilang lepaskan.... Kumohonnnn aku sudah tidak sanggup lagi....." aku berbicara terbata-bata sambil mengeluarkan air mata dan mulai memukul pelayan itu. Ia tidak berbicara sedikitpun terus merasakan iba terhadapku. Perlahan aku mulai merasa tenang dengan kehangatan pelukannya.

"Nona tidak apa... ada aku di sini. Aku yakin nona orangnya kuat dan sanggup menjalankan ini. Aku yakin suatu saat nona akan menemukan kebahagiaan." Saat mendengar kata itu entah mengapa aku merasa sangat hangat dan mulai memeluk pelayan itu.

"Nona muda berhentilah menangis lihat nona sudah mengeluarkan banyak sekali mutiara indah. Keindahan mutiara yang nona buat dari air mata nona." Ia menunjukkan mutiara yang ku buatkan dari air mata itu. Kemudian mengumpulnya menjadi satu tempat. Ternyata tidak semua setetes air mata bisa menjadi mutiara kenapa bisa begitu.

"Kenapa hanya beberapa saja bukannya..."
"Mutiara hanya bisa dihasilkan dari air mata yang tulus. Perasaan nona yang ingin menyelamatkan orangtua sehingga menghasilkan warna yang indah." Ia memotong pembicaraanku sambil mengambil sebutir mutiara dan memberikannya kepadaku.

"Esme terimakasih... sudah membantuku. Ambil lah mutiara ini dan jadilah temanku." Aku memberikan kembali semua mutiara itu ke pelayan itu.

"Ehh nona aku tidak bisa..."
"Ambil saja aku sudah memiliki apa yang kumiliki di sini. Gunakanlah sesuatu itu untuk kebaikkan." Aku memalingkan wajahku tersipu malu. Ia mengambil mutiaranya dan tersenyum.

"Hmm terimakasih nona. Akan ku gunakan sebaik mungkin. Nona beristirahatlah, nanti jika ada pekerjaan akan saya hubungi. Nona bisa membunyikan lonceng itu untuk memanggilku. Aku pergi dulu nona selamat tidur." Ia berjalan pergi sambil membawa mutiara itu. Lalu ia mematikan lilin dan menutup pintu secara perlahan.

"Bagaimana kamu tahu tentang ini, apakah kamu melayani perempuan itu sebelumnya." Sesaat pelayan itu hendak menutupkan pintu ruangan, ia terhenti sesaat ketika mendengar itu.

"Kami sudah melayani keluarga ini turun temurun, sehingga kami sangat memahami keadaan ini. Mengapa ini bisa terjadi? Pada saatnya nona akan paham. Lebih baik nona beristirahat lebih dulu. Nanti akan saya jelaskan lebih detail." Ia merapati pintu itu. Pergi meninggalkan ruangan itu dengan suara sepatu yang terdengar jelas dari luar ruangan.

Aku membaringkan tubuhku ke kasur sambil menatap langit tenda kasur. Aku membolak balikkan tubuhku melihat seluruh tempat. Kemudian aku memberanikan diri untuk turun dari kasur dan mencoba berjalan. Namun aku terjatuh ke lantai.

"Sepertinya aku masih belum bisa berjalan untuk hari ini." Aku benyeretkan kakiku ke kursi roda dan bergerak perlahan duduk. Ku buka kunci pedal roda dan mendorongnya berjalan ke arah balkon. Membuka jendela besar yang menyerupai pintu itu. Aku melihat balkon yang besar dan melihat pemandangan.

"Aku sekarang ada di mana..." aku berbicara sendiri sambil merasakan angin malam yang sejuk. Aku melihat tubuh ku dan kaki ku. Meraba kembali seluruh tubuhku. Tubuhku mulai merasakan kedinginan karna angin malam yang dingin.

"Aneh tubuhku seperti biasa saja tidak ada keanehan. Hari ini aku tidak merasakan gerah dan panas ataupun kering." Sambil menutup mata dan merasakan hembusan angin.

"Sepertinya aku kembali saja di luar sangat dingin." Aku mendorong kembali kursi itu lalu masuk ke dalam ruanganku. Aku menutup pintu jendela kamar dan melihat sekitarnya. Aku melihat meja rias dan menata ulang meja sesuai yang aku inginkan. Aku melihat seisi rak buku kecil dan sofa lalu menatanya kembali. Membuka pintu lemari yang terlihat seperti ruangan kecil. Tersusun rapi baju, celana, tas, sepatu, perhiasan yang mereka berikan.

"Lengkap sekali... seandainya ibu melihat ini. Ini seperti mimpi." Aku melihat semuanya kemudian aku melihat permata yang aku lihat di toko permata sebelumnya. Merek parfum yang sama pada saat aku ingin mencoba membelinya.

"Jangan... jangan..."

Arthea the Blue MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang