PROLOGUE

36 15 2
                                    

Dies Irae

•••

KUKU rancung bak pisau itu menyentuh abu kayu,  urat-urat pada punggung tangannya menegang. Beberapa pasang mata melihat sosoknya dengan sirat ketakutan, tubuh mereka bergetar dengan tangan mereka yang basah habis memadamkan sang jago merah. Mata hijau itu berubah dalam sekali kedipan, krimson merah itu mengkilat dengan sinar matahari yang telah terbit.

Panas dan bau sangit, dua burung gagak mendarat di padang abu kayu yang masih berasap. Tak sanggup berdiri, dia terjatuh berlutut. Mendekap tengkorak-tengkorak orangtuanya, tubuh itu bergetar wajahnya mendongak ke atas langit.

"Ah! Apa yang telah mereka lakukan pada kalian, Ibu, Ayah?!" Teriaknya, membuat orang-orang disekitarnya membubarkan diri. Tangannya menggenggam kuat tengkorak bekas orang tak bersalah itu, kepalanya menunduk.

Gejolak kemarahan mengalir bersama dengan darah dalam tubuhnya, gigi taringnya menancap pada pergelangan tangannya. Aliran darah miliknya diteteskan pada kedua tengkorak di depannya.

Dia menggeram, "Mari kita mulai sebuah akhir, dengan telapak tangan yang kotor. Biarkan saya hidup bersama kemarahan abadi untuk memenuhi keinginan terakhirmu."

Darahnya berhenti mengalir, menyaksikan tengkorak-tengkorak itu menjadi asap hitam. Dia berdiri, melangkah pergi dengan kabut yang melayang menyembunyikan dosa. Lemas, ia pulang menuju Durham, manor kedua milik sang Ibu. Melepas sarung tangan satin yang membungkus kulit lembut nan pucat itu kala dia sampai di dalam ruangan kecil berbau buku dan lilin. Meletakkan belati di atas meja, tangannya meraih sebuah buku. Ia duduk, memulai menulis   sampai lilin di atas meja padam.

"I will take a path to the Eternal Wrath."

Bersambung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bersambung....
Vote! Comment!
Terima kasih sudah membaca bab ini
Stay on the line for the next chapter!
Love ya!

𝐄𝐓𝐄𝐑𝐍𝐀𝐋 𝐖𝐑𝐀𝐓𝐇Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang