Game on
•••
JUNIA menyelam dalam lautan tulisan, menarik kedua ujung bibirnya kala membaca judul besar yang terpampang jelas setelah mengubah halaman. Tangan kirinya memegang surat kabar yang baru didapatnya tadi pagi dari sang asisten; John, sedangkan tangan kanannya beristirahat dibahu kursi. Terkekeh geli kala membaca berita yang ramai dibaca khalayak, John menuangkan teh ke dalam cangkir seraya melirik nonanya.
“Ada berita apa hari ini, Nona?” tanyanya dengan nada sopan, tak ingin merusak suasana. Mengaduk teh setelah memasukkan satu gula pasir, Junia melirik John dengan ekor mata.
“Berita kematian Barners, orang yang aku bunuh tempo hari. Tak disangka hal ini sampai pada ratu Victoria,” jawab Junia, menutup koran dan meletakkannya di atas meja. John menaruh perlahan secangkir teh di sebelah kertas itu.
“Ratu Victoria?”
Junia mengangguk mengangkat bahunya.
“Mereka membuat peraturan baru tentang pengadaan pesta-pesta bangsawan yang harus memiliki izin dan penjagaan oleh anggota militer MI6.”“Itu berarti Anda dan Tuan Deventer harus waspada, Nona,” ujar John. Kedua tangannya ia letakkan di depannya, melirik Junia dan koran itu bergantian.
“Tentu saja. Ratu Victoria mungkin khawatir dengan kerajaannya yang ia kira pembunuhan ini akan sampai padanya. Namun tidak, aku hanyalah seorang gadis yang memiliki mimpi untuk menebus kemarahan abadi dari dalam diriku dan juga keluargaku. Bukankah itu benar, John?”
Junia berdeham setelahnya, membuka lipatan kipas dan mulai mengipas dirinya dengan gerakan pelan nan anggun.
“Ya, itu benar, Nona. Keluarga Anda pantas untuk mendapatkan seluruh keadilan.” John mengangguk. Junia mengangkat cangkir tehnya dan menyesapnya.
“Ahh...tiada yang lebih baik daripada secangkir teh di pagi hari,” batinnya mengamati kembali surat kabar di atas meja.
Bohong jika dirinya tidak panik dan gemetar ketika ratu Victoria menanggapi kasus tempo hari dengan serius dan terbuatnya peraturan baru. Seolah-olah tidak peduli, Junia hanya ingin keadilan untuk keluarganya. Demi membalikkan nama baik keluarganya yang hendak mendapat titel ‘Ksatria Putih’ sebab memperjuangkan hak keadilan sosial bagi rakyat jelata.
Dan hari itu adalah kali pertama ia membunuh vampir, selain membunuh manusia untuk sebotol darah dan simpanan untuk kemudian hari. Dengan catatan, darah yang diminumnya ialah darah kepolosan manusia tanpa dikotori oleh kejahatan.
Saat ia berusia dua belas tahun, Ayahnya; Myron Enders mengajari cara berkelahi dengan iming-iming permen coklat sebagai hadiah. Memberitahu bagaimana cara membunuh sesama vampir yang notabennya lebih kuat dari manusia biasa.
“Nah, sekarang Ayah akan memberitahumu bagiamana cara membunuh sesama vampir,” ucap Myron seraya memegang kedua bahu putrinya, tatapan mata yang amat dalam itu memandang Junia dengan penuh kasih sayang.
“Membunuh sesama vampir? Ayah, kita tidak boleh membunuh mereka, bukankah kita sama saja?” tanya sang putri dengan nada dan wajah yang polos. Myron terkekeh, mengelus rambut halus Junia.
“Ya, kau benar. Tapi dunia ini kejam dan tidak selalu baik, Junia. Ibumu tidak memperbolehkanku untuk mengajarkanmu hal seperti ini, tapi menurutku ini untuk bekal di kehidupanmu selanjutnya.” Junia mengangguk pelan seakan-akan sedang mencerna penjelasan sang Ayah.
“Baik, Ayah. Bolehkah aku mendapatkan permen cokelat nanti?” Matanya berbinar menatap pria yang lebih tua. Membuat Myron tertawa kecil lalu mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐄𝐓𝐄𝐑𝐍𝐀𝐋 𝐖𝐑𝐀𝐓𝐇
ActionKedendaman Junia, sang vampir bangsawan, terhadap seseorang yang membunuh orangtuanya mendarah daging. Kemarahan itu abadi bersamanya. Menyamar sebagai primadona, menyelusup kedalam kehidupan bangsawan-bangsawan bangsat, memeras dan membunuh mereka...