Vincere aut mori
Conquer or die•••
MERAH merona warna gaun yang dipakainya, pun dengan merah pada pipi dan bibir manis berbentuk seperti cinta. Wajah manis nan cantik itu dipoles bak boneka porselen, menyamakan langkah kaki kecilnya dengan pria di sebelahnya. Menggenggam sedikit bagian gaun mewah itu dengan tangan kosongnya, mengamati sekitar ketika sampai di dalam gedung bernuansa megah nan indah dengan lelampu gantung pada langit-langit gedung yang konon katanya terbuat dari kristal terbaik di muka bumi.
“Remember our plans. Do trick, blackmail, and kill if you don't find anything.” Pria berjas merah-hitam itu berbisik sambil melirik wanita disebelahnya, kemudian tersenyum pada semua orang dan berakting selayaknya pasangan yang berwibawa dan ber-uang.
Semerbak harum parfum maskulin dan mawar putih terendus, jenis wewangian yang dipakai oleh para bangsawan. Wanita-wanita cantik memakai gaun dan membawa pasangannya bercengkrama sambil menyicipi bermacam-macam minuman alkohol yang disajikan pramusaji, tak luput dari mereka yang memamerkan perhiasan-perhiasan mahal yang didapat dari lelang pameran kristal.
Tamu-tamu kian berdatangan, canda tawa berbau uang terdengar di telinga. Thomas menghentikan langkahnya di tengah-tengah kerumunan dan menoleh pada Junia.
“Targetmu sedang bersiap-siap untuk memberikan kata-kata sambutan, kau bisa bergabung dengan tim orkestra-ku sekarang. Aku akan mengawasimu dari dekat,” ucapnya sambil mengambil langkah mundur, berbaur dengan para pria dewasa. Sedang Junia maju bergabung dengan para orkestra.
Junia menatap tajam targetnya; James Bent Barners, pria paruh baya berkacamata monocle yang tengah menaiki panggung. Bersiap untuk memberikan sambutan saat kepala asisten di bawah panggung memukul pelan gelas sampanye ramping, tipikal untuk mendapatkan atensi.
“Selamat malam, tuan-tuan dan nyonya-nyonya. Selamat datang pada perayaan hari jadi saya yang ke empat puluh lima tahun dan perayaan debut produk perhiasan kristal dan alkohol yang akan diluncurkan pekan depan,” sambutnya dengan senyum sumringah, melihat para tamu-tamu undangannya bertepuk tangan.
Junia menarik napas dalam-dalam, memutar-mutar jari jempolnya. Walaupun ia telah berlatih untuk bernyanyi sebagai primadona dengan suara sopran, demi mewujudkan balas dendamnya pada bangsawan-bangsawan yang terlibat dengan ayahnya tempo lalu.
“Pesta ini akan mengadakan segmen tarian waltz yang bisa diikuti oleh semua orang dan menikmati suguhan lagu yang akan dibawakan oleh primadona dan orkestra. Baik, tanpa menunggu lebih lama lagi, inilah sang primadona.”
Junia menaiki panggung, berjabat tangan dengan pria itu dengan senyuman palsunya sebelum James turun dari panggung. Lalu iringan instrumen perpaduan harpa dan piano membuka jalur nada.
“Alas, my love, you do me wrong,
To cast me off discourteously,
And I have loved you well and long,
Delighting in your company...”Wanita muda itu menyanyikan lagu tradisional Inggris bertajuk “Greensleeves”, balada tersebut ditemukan di beberapa sumber pada akhir abad ke-16 dan awal abad-17. Lagu yang diyakini disusun oleh Henry VIII untuk kekasih dan calon permaisurinya, Anne Boleyn.
“...Greensleeves was all my joy
Greensleeves was my delight,
Greensleeves was my heart of gold,
And who but my lady Greensleeves...”Suara tinggi nan lembut bak kue scone itu membuat hati para penonton takjub dengan mata berbinar-binar, mereka sambil menikmati suguhan alkohol dan camilan yang disediakan. Mata Junia melihat Thomas melewati kerumunan menuju James. Kedua pria itu melihatnya sambil bercengrakama.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐄𝐓𝐄𝐑𝐍𝐀𝐋 𝐖𝐑𝐀𝐓𝐇
AksiKedendaman Junia, sang vampir bangsawan, terhadap seseorang yang membunuh orangtuanya mendarah daging. Kemarahan itu abadi bersamanya. Menyamar sebagai primadona, menyelusup kedalam kehidupan bangsawan-bangsawan bangsat, memeras dan membunuh mereka...