XIII. Pall Mall

5 4 3
                                    

A cold hearted

•••

“Sudahlah, tidak apa-apa, Nona manis. Tidak perlu menggerutu begitu,” ujarnya membujuk sang pujaan hati yang ekpresinya datar dengan alis yang hampir bertaut. Ia bertumpu pada palu kayu, berhenti 'tuk membelai pipi tirus nan halus, yang seketika tangannya ditepis menjauh. Ada sedikit kekecewaan di matanya, tapi dia terus menggodanya tanpa henti sampai wanita itu jengkel padanya.

Kini mereka sedang berada di tengah padang rumput hijau yang asri, tepat di belakang manor milik Thomas. Pria itu mengajak Junia untuk menyusun rencana selanjutnya sekaligus menghiburnya untuk keluar dari zona melankolis. Sang Tuan Rumah memilih untuk bermain Pall Mall yang dikenal dengan berbagai nama, Pall mall adalah permainan rumput yang berasal dari Perancis pada tahun 1500-an. Namanya terinspirasi dari kata Italia palla maglio” yang artinya bola palu. Yang telah diperkenalkan ke Inggris dari Skotlandia pada awal tahun 1600-an.

“Bisakah kau berhenti, Thomas? Kepalaku ingin pecah rasanya,” katanya bersungut-sungut, matanya berkilat. Rambut merahnya jatuh terurai sedikit basah sehabis membersihkan diri, melipat kedua tangannya di depan dada. Wajahnya mengerut mengingat kejadian tempo hari.

“Apa? Aku hanya mencoba untuk menenangkan pikiranmu, Junia. Ayolah, bermain sedikit,” ajak Thomas menyenggol bahu Junia sambil menyodorkan palu kayu. Membuat si wanita berdecih mengambil benda panjang itu dengan kasar.

“Baik, jika kau memaksa. Aku bisa mengalahkanmu, tahu.” Dia kemudian berjalan ke tengah, menaruh bola kecil berwarna coklat di atas rumput dengan permukaan rata. Lalu memukul lurus bola itu, bergerak menembus ke arah ring sasaran berkat keakuratannya. Bermain tanpa ekspresi.

Sang Pengundang terkekeh, mengarah pandangannya kembali pada ekspresi Junia. Sesuatu terjadi, ia tahu Junia masih memikirkan insiden ketahuan oleh seorang anggota militer saat menjalankan misinya membunuh Abraham. Terlebih lagi manusia ini yang berdansa dengan Junia, membuat hatinya bercumbu dengan kecemburuan hari itu.

“Kau masih memikirkannya?” tanya Thomas dengan pelan, mengambil bola kayu yang lain dari dalam kantung dan meletakkannya di atas rumput lagi. Bersedia mengayunkan palu.

“Bukan urusanmu,” balas Junia dengan nada dingin dan tabah.

Thomas menghela napas panjang, memutar matanya. “Akui saja. Kau masih memikirkan pria itu, bukan?”

Menyaksikan wanita itu hanya terdiam, Thomas menggelengkan kepalanya. Dipukulnya bola itu dengan palu kayu miliknya, melesat melewati ring sasaran. Menambah satu poin untuknya.

“Pria itu tidak ada apa-apanya dibandingkan diriku, memangnya apa yang dia punya? Segelimang harta? Tanah? Bisnis yang sukses?” Thomas menyombongkan diri dengan dagu yang ia angkat, Junia berdecih.

“Kau menyebalkan, Thomas Dongkol Deventer,” gerutunya, dalam hati ingin memukul Thomas dengan palu kayu yang berat ditangannya. Pria itu membuat darahnya mendidih, terlebih lagi ia sedang tertawa.

“Siapa nama pria itu, huh?” Tanya Thomas setelah berhenti tertawa, rambut pirangnya tersisir ke belakang oleh embusan angin.

“Mengapa kau sangat penasaran?”

“Ayolah, Junia. Aku hanya ingin tahu tentang tentara yang menangkap basah dirimu, dia juga yang berdansa denganmu, kan?” bujuknya ingin tahu. Ia mendekat, Junia bergeser selangkah ke kiri menjauhinya. Tampak tidak nyaman dalam ekspresinya.

“Eugene Whiteley. Namanya Eugene Whiteley.” Dua kali nama itu disebutkan sambil mengingat-ingat perawakan Eugene yang lembut dan penuh hormat, namun ia tidak menyangka bahwa pria itu adalah seorang tentara. Dengan emosi yang terpendam, Junia memukul lagi bola kayu dengan martil itu dengan keras.

𝐄𝐓𝐄𝐑𝐍𝐀𝐋 𝐖𝐑𝐀𝐓𝐇Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang