I'll play before I yield
•••
Oxford, Inggris“Oh, sayangku Stephen. Selamat datang,” Terdengar sambutan halus nan lembut dari kejauhan, wajah Stephen cerah saat menyadari apa yang ia lihat. Lelaki itu menghampiri empat wanita berdiri menyambutnya dengan tangan terbuka. Mereka saling mencium pipi kemudian berbagi pelukan hangat. Mata mereka berbinar-binar, perasaan senang membuncah. Mulut Stephen membentuk lengkungan, melihat istri-istrinya dengan penuh kasih sayang. Satu persatu ia kecup dahi mereka.
“Terima kasih telah membuat acara spektakuler ini, istri-istriku tercinta,” pujinya membuat wanita-wanitanya melayang, pipi mereka memerah. Sang Istri Pertama—Mary Hamilton— menepuk pundaknya.
“Tidak masalah, Stephen. Akulah yang lebih dulu mencetuskan ide ini,” ujarnya terkekeh menutup bibirnya dengan kipas. Istri keduanya—Anne Hamilton—memutar bola matanya.
“Aku yang mencari gedung terbaik dan makanannya,” sahutnya tak mau kalah, Anne bersedekap dada. Sebelum Stephen membuka mulutnya, Agnes Hamilton; istri ketiganya berkacak pinggang dengan ekspresi kesalnya.
“Saya bagian yang merencanakan rangkaian acara!” serunya, mereka bertiga saling melempar tatapan tajam. Mengepalkan tangan, sedang si istri keempat—Isla Hamilton—yang tengah mengandung hanya diam menyaksikan.
Stephen menghela napas panjang, kepalanya berdenyut kala mendengar istri-istrinya bertengkar di mana saja dan akan berulang untuk sekian kali. Meski demikian, istri-istrinya menyayangi dirinya dengan tulus. Pun sebaliknya. Ia merawat keempat bidadarinya dengan sepenuh hati dan raga, tanpa pilih kasih.
Dia memijat pangkal hidungnya, “Bisakah aku meminta kepada kalian untuk tidak bertengkar selama pesta berlangsung? Aku tidak ingin ada perseteruan antara kita, jadi kalian harus terlihat akrab di depan khalayak, dengar?”
Keempat wanita cantik itu mengangguk dengan pelan, berhenti menggerutu. Mengubah ekspresi mereka dengan senyuman cerah berseri-seri.
“Kami mendengarmu, Stephen,” balas mereka berbarengan. Mary kemudian memecah kekikukan dengan tawanya, mendapatkan atensi dari mereka.
“Mari kita mulai acara ini,” ajak Mary melenggang pergi dengan Agnes sebelum Stephen mengangguk. Isla dan Anne mengajak suaminya ke ujung ruangan, terdapat benda berukuran besar menjulang tinggi hampir menyentuh langit-langit tertutupi oleh kain berwarna hitam.
Stephen berbalik badan ke belakang, pupil matanya melebar seketika. Ada sekitar 3.000 tamu diundang, dan para tamu disambut oleh orkestra yang bermain di dalam ruangan. Para wanita-wanita juga berlomba-lomba, siapapun yang memakai petikut paling tebal maka ialah yang tercantik malam itu. Kemudian dia mengamati sekitar area balai, interior berkilau dengan 20.000 lilin dan lelampu kristal di tengah atap. Pesta penghormatan dalam rangka pencapaian rekornya menjadi hakim yang telah memenangkan banyak pengadilan, dibuat Sang Istri Pertama dengan sangat memorial.
Saat Mary menepuk pelan gelas sampanye untuk mencuri atensi para tamu, dia menoleh pada wanita yang tersenyum dengan wajah cerahnya.
“Good evening, ladies and gentlemen. Glad to see you all attending into this tribute party for my husband, Stephen Paul Hamilton. Hakim yang agung dan bijaksana, telah memenangkan banyak pengadilan. Mari beri tepuk tangan untuk Hamilton.” Para tamu bertepuk tangan, begitu juga dengan Mary dan istri-istrinya.
Kemudian para penjaga dari berbagai pintu berdiri memegangi tali-tali dari ujung kain hitam, mereka melirik Mary menunggu aba-aba dari wanita tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐄𝐓𝐄𝐑𝐍𝐀𝐋 𝐖𝐑𝐀𝐓𝐇
ActionKedendaman Junia, sang vampir bangsawan, terhadap seseorang yang membunuh orangtuanya mendarah daging. Kemarahan itu abadi bersamanya. Menyamar sebagai primadona, menyelusup kedalam kehidupan bangsawan-bangsawan bangsat, memeras dan membunuh mereka...