Matahari dapat dikatakan tidak terlalu terik, hembusan angin kesana kemari membuat beberapa daun berjatuhan, suara burung berkicau yang sudah sedikit terdengar.
Tepat pukul sepuluh pagi, keluarga Tsania sudah kembali ke rumah dengan keadaan penuh isak tangis yang dirasakan masing-masing dirinya.
Tak lupa dengan Liam yang selama perjalanan hanya melamun melihat pemandangan lewat jendela mobil yang tertutup, ia seolah tak mau melihat pemandangan tangis yang terdengar di mobil.
Kemarin, tanggal dua Januari, adalah ulang tahun Liam yang ke enam tahun, yang berarti Juli nanti Liam sudah menaiki jenjang baru.
Seharusnya, kemarin dipenuhi dengan senyum manis dan tawanya, dipenuhi dengan hadiah yang tertutup oleh kertas kado-, tetapi siapa sangka jika hari ini lebih menyakitkan dibandingkan semalam.
Luka di pelipis nya masih tak kunjung hilang dan sedikit terasa sakit, Liam berusaha melupakan kejadian semalam tetapi pasti tidak bisa, itu terlalu menyakitkan untuk diingat juga dirasakan oleh anak kecil yang baru saja berumur enam tahun hari ini.
Perjalanan dari makam menuju rumah membutuhkan waktu kurang lebih satu setengah jam, dimana disana diwarnai dengan suara isak tangis orang-orang yang sedang berduka atas kepergian Tsania.
Ayah yang memeluk bunda, Rayyan yang memeluk istrinya, begitu juga dengan Ranjaya yang masih berada dipelukan istrinya. Sementara sopir, ia mengusap air matanya berkali-kali dengan tisu sembari mengingat kejadian kejadian baik dirinya diperlakukan baik oleh Tsania.
Altair yang duduk tepat di samping Liam sadar akan kenyataan, anak kecil itu juga merasa kehilangan yang sama dengan keluarganya, terus menangis tetapi siapa yang akan memeluknya?.
Dirinya masih memegang bunga sisa taburan tadi saat berada di makam ibunya, hanya tiga atau empat bunga yang masih digenggamnya.
Matanya menatap bunga itu dengan tatapan kosong, ia merasa bersalah karena sebagai lelaki ia harus menjaga sang ibu, tetapi ia gagal menjaga ibunya dari pria setan.
Altair merasakan kasih sayang lebih banyak, ia juga merasakan lebih banyak momen bersama ibunya dibandingkan Liam.
Yang pasti, mereka sama-sama merasakan sakit.
Altair akhirnya sadar dari lamunannya, ia mendongak, menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri, masih penuh dengan tangisan orang-orang.
Hingga matanya tertuju kepada adiknya sendiri yang masih melihat pemandangan luar lewat kaca mobil yang tertutup.
Dilihat, tangan Liam menopang pipi gembulnya, sesekali ia juga menggunakan tangan yang satunya untuk mengusap air mata berjatuhan di pipinya.
Altair merasakan perasaan yang sama dengan Liam, ia menarik tubuh adiknya pelan lalu menatap mata adiknya dengan tatapan sendu.
Ia mengembangkan senyumnya, memberikan sedikit kehangatan untuk adiknya-, tangan kirinya bergerak untuk menghapus beberapa air mata yang berhenti di pipinya.
"Adik Abang kuat!, bukankah begitu, Liam?"
Kata-kata yang dilontarkan Altair membuat bibir Liam di kebawahkan, matanya kembali berkaca-kaca.
Altair menyadari mimik wajah adiknya, segera ia dekap tubuh kecil Liam yang sudah dari kecil mereka bersama, entah suka maupun duka, mereka harus tetap bersama.
Liam menurunkan air matanya di pundak Altair, memeluk erat-erat seolah-olah takut kehilangan lagi setelah kehilangan ibunya.
Sementara Altair, ia mengelus punggung kecil milik adiknya itu berbarengan dengan mengelus pucuk rambut Liam.
KAMU SEDANG MEMBACA
•' Liam Archandra '•
General Fiction"Ibu, Liam cape, Liam lelah, Liam cuma punya abang sama ibu sekarang.. Kapan ibu akan kembali?, katanya mau dibeliin peralatan sekolah?"