10. Memulai Kehidupan Baru

318 35 0
                                    

Happy reading!!! Jangan lupa vote dan comment nya. Terima kasih.

***

Satu jam sudah aku masih termenung di pusara ibuku. Setelah dirasa puas aku baru pulang ke rumah. Rumah mana lagi kalau bukan rumah Nina. Aku tidak memiliki siapa-siapa sekarang. Dan setelah ini aku tidak tahu harus tinggal dan hidup di mana. Sepertinya impianku untuk bisa melanjutkan pendidikan harus aku kubur bersama dengan kepergian ibuku.

"Balik lagi ke sini? Kirain nggak bakalan balik ke sini..."

Baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam, aku dikejutkan dengan Nina yang duduk manis di ruang keluarga. Aku menatapnya sekilas. Aku sedang tidak ingin berdebat dengannya. Aku lelah dan butuh waktu sendiri. Bahkan tadi saja Nina tidak ikut mengantarkan ibuku ke peristirahatan terakhirnya disaat semua orang datang.

"Papa mau bicara sama kamu...," perkataan Nina yang satu ini sanggup membuatku menghentikan langkah kakiku. "Saran aku, kamu terima saja berapapun yang Papa kasih. Kamu butuh uang kan Rel?" lanjut Nina lagi. Aku memejamkan mataku, kemudian berbalik menghadap Nina dan menatapnya dengan tajam.

"Apa isi otakmu cuma uang Nin? Gak ada yang lain selain uang?"

"Well, kita nggak bisa hidup tanpa uang." jawab Nina acuh. Aku menggeleng tidak percaya dengan Nina.

"Berapa banyak pun uang kamu, suatu saat bisa habis juga Nin. Hidup gak pernah ada yang tahu. Apa yang mau kamu lakukan kalau besok-besok kamu gak bisa hidup semewah sekarang?"

"Jual diri. Aku cantik, nggak susah buat aku untuk cari uang. Tapi selagi aku punya ya nggak perlu sampai jual diri sih, tinggal nikmatin aja. Duit Papa masih banyak." aku tambah meradang mendengarnya.

Berdebat dengan Nina tidak akan pernah aman untuk kesehatan jantungku. Nina selalu mampu membuat emosiku terpancing dan meledak-ledak. Aku mendiamkan Nina, tidak menjawabnya. Kemudian aku beranjak begitu saja ke ruang kerja Bapak Dewandaru.

Mengetuknya beberapa kali, aku mendengar suara beliau mempersilahkanku untuk masuk. Ketika aku masuk, beliau sedang duduk di kursi kerjanya. Ini kali pertama aku masuk ke ruang kerja beliau. Cukup rapi dan bagus, menggambarkan benar-benar seperti apa orang yang menghuninya.

"Duduk Rel, saya mau bicara." kata Bapak Dewandaru tegas. Aku mengikuti arah matanya, duduk di kursi yang ada di hadapan beliau, dibatasi oleh meja kerja beliau yang cukup besar. Aku sudah menyiapkan perasaanku untuk segala sesuatu yang akan terjadi. Bahkan ketika aku mungkin harus angkat kaki dari tempat ini, maka aku sudah siap.

"Kamu dapat beasiswa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi?" Tanya beliau dengan serius. Aku menjawabnya dengan satu anggukkan. Beliau tampak mengetuk-ngetukkan jari tangannya pada meja, tampak berpikir keras.

"Tapi sepertinya saya tidak berniat melanjutkannya Pak." aku berkata dengan cepat. Aku tahu tidak mungkin aku bisa melanjutkan pendidikanku dengan kondisiku yang seperti sekarang. Tidak ada biaya untukku bertahan kalau aku tidak bekerja. Aku hanya sebatang kara.

Tiba-tiba saja beliau mengeluarkan sebuah map besar dari dalam laci dan menyodorkannya padaku. Aku menerimanya dengan bingung. Ketika aku membukanya ada banyak dokumen yang tidak aku mengerti sama sekali. Aku menatap beliau dengan bingung.

"Ini beberapa daftar perguruan tinggi di Australia. Saya memang akan menyekolahkan kamu ke sana. Tidak perlu pikirkan biayanya, tentukan saja jurusan yang ingin kamu ambil. Seluruh biaya pendidikan dan asrama kamu sudah saya siapkan, termasuk biaya hidup sampai dengan kamu lulus nanti. Dua setengah milyar seharusnya cukup untuk kebutuhan hidup kamu selama di sana di luar biaya pendidikan dan asrama." ujar Bapak Dewandaru tenang.

Fabula (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang