14. Meeting Time

248 28 0
                                    

Happy reading!!! Jangan lupa meninggalkan jejak dengan vote dan comment nya ya. Terima kasih...

***

"Wow, gue nggak menyangka secepat ini. Hebat banget Nin, lo dari dulu memang selalu hebat dalam semua hal. Termasuk meluluhkan hati lelaki ya. Nggak tahu Karel yang terlalu bego apa lo yang terlalu pintar."

Sabtu pagi, seperti janjiku pada Nina kalau aku akan mempertemukannya dengan Bram dan Mona, jadi pagi ini aku mengajak mereka untuk sarapan bersama di salah satu restoran langganan kami.

Tentu saja Mona yang mengusulkan pagi hari karena siang harinya dia ada acara dengan anak dan suaminya. Belum apa-apa, baru lima belas menit mereka duduk diam Mona sudah mengeluarkan kata-kata sarkasnya pada Nina. Padahal aku sudah mewanti-wanti nya untuk tidak bertindak keterlaluan pada Nina.

Aku melirik Nina sekilas. Nina tampak tidak terganggu dengan kata-kata Mona. Dia menikmati makanannya dengan anggun seolah-olah Mona tidak ada di hadapannya sekarang. Aku bisa melihat raut geram Mona yang tidak dianggap. Ingin tertawa tapi aku sadar tindakan ku hanya akan memperkeruh suasana antara Nina dan Mona.

Untung saja Bram bisa menahan dirinya dengan diam. Meskipun dia risih dengan kehadiran Nina, namun Bram masih bisa menguasai emosinya. Sejak tadi Bram hanya diam memperhatikan Nina lebih lekat. Pertemuan mereka terakhir kali tentu tidak terlalu jelas, kini aku yakin Bram bisa melihat lebih jelas mantan sahabatnya ini.

Entah apakah mereka bisa bersahabat kembali atau tidak. Namun sepertinya sulit. Mengingat Mona dan Bram yang sudah membangun dinding tinggi untuk Nina. Sementara sikap Nina juga apatis. Nina sama sekali tidak mau berbasa-basi dengan Mona dan Bram. Tipikal Nina sekali sejak dulu selalu seperti ini.

Sudah mengerti kan betapa menyebalkannya Nina. DIa tetap saja angkuh dan menjengkelkan, namun Nina juga tidak bisa berbohong kalau dia membutuhkan seseorang yang bisa menopangnya dalam hal finansial tentu saja. Mengembalikan kehidupan mewahnya seperti sedia kala.

"Jangan mulai lagi Mon. Lo sudah janji sama gue untuk behave." aku memperingatkan Mona dengan lirikan mata penuh arti supaya dia mengingat perbincangan kita tempo hari.

"Dari sekian juta perempuan, jatuhnya harus sama Nina lagi. Mungkin lo harus bersyukur Nin, hidup lo selalu enak dan dikelilingi orang-orang baik. Padahal bentuknya mirip iblis." sindir Mona lagi.

Kali ini Nina tidak diam. Sambil menyesap teh hangatnya Nina melirik Mona sekilas. Kemudian meletakkan cangkirnya dan berdehem sebentar.

"Kebaikan datang untuk orang-orang yang memang benar-benar baik, bukan yang pura-pura baik. You don't even know how beautiful the devil is." aku menatap Nina dan Mona bergantian.

Nina begitu tenang dan anggun. Lain dengan Mona yang sudah menahan emosinya mati-matian. Aku tersenyum kecil. Sepertinya waktu tidak bisa merubah tabiat seseorang. Nina tetap Nina, sementara Mona juga masih tetap Mona.

Kalau yang satunya begitu tenang dengan omongan yang menusuk, yang satunya lagi begitu berapi-api dan tidak bisa menahan emosi. Pada akhirnya Nina akan selalu menang. Tidak ada yang bisa mengalahkan Nina dalam hal berdebat dengan kata-kata.

Mona berdecak mendengar jawaban Nina. "Nggak habis pikir gue. Stok percaya diri lo terlalu banyak Nin." sahut Mona lagi.

"Kita disini untuk sarapan sekaligus bertemu dengan teman lama. Gak perlu begitu Mon. Kita gak mungkin kesal lama-lama dengan seseorang kan. Gue yakin Nina punya alasan tersendiri." Bram bersuara. Cukup mengejutkanku karena lelaki itu bisa jadi bijaksana juga rupanya.

Mona hanya mendengus kesal, dia kemudian menyantap makanan yang ada di hadapannya dengan sedikit kasar. Aksi protes nya atas teguran Bram barusan. Nina sendiri benar-benar tidak terpengaruh sama sekali. Tidak dengan kejengkelan Mona, tidak juga dengan pengertian Bram.

Fabula (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang