bab 6

11.3K 441 4
                                    

Andreas teringat saat masih bersama dengan Naina, saat mereka kejar-kejaran di pantai, jalan-jalan di taman, semuanya begitu indah. Dia tersenyum namun hatinya berdenyut sakit. Dadanya terasa sesak. "Naina."

Ceklek

Amira membuka pintu ruang kerja suaminya. Andreas buru-buru menaruh foto itu di laci meja kerjanya. Ternyata ia masih takut Amira cemburu padanya dan membuat wanita itu marah.

"Aku membuatkan kopi. Kau pasti lelah."

Andreas tersenyum, malam ini ia memang harus begadang, hati dan pikirannya sangat kacau. Amira pun memijat kedua bahunya.

"Bagaimana enak tidak?" Tanya Amira sambil terkekeh.

"Sangat enak, Naina sebelah sini." Tunjuk Andreas pada lengannya.

Seketika Amira menghentikan pijatannya. Hatinya langsung merasakan sakit seperti di hujanj oleh belati. "Kau menyebut ku Naina? Andreas kau masih saja belum melupakannya?"

Andreas menghela nafas. "Maafkan aku."

"Maaf? Andreas kita sudah menikah lima tahun ini kau masih belum bisa melupakannya. Seharusnya kau melupakannya, apa aku harus pergi saja bersama Ayna?"

Andreas beranjak dan menahan lengan Amira. "Amira maafkan aku, tidak mungkin aku melupakan teman masa kecil ku. Kau harus tau itu, lagi pula kita sudah menikah dan aku memilih mu. Hanya saja beberapa tahun ini aku memikirkannya entah bagaimana kabarnya. Dia tidak memiliki orang tua dan hanya memiliki diriku. Kau harus mengerti, sebaiknya kau tinggalkan aku sendiri. Kau harus mendinginkan pikiran mu."

Amira menatap kecewa, air matanya mengalir. Dia pun bergegas pergi.

Drt

"Tuan, besok kita harus ke bandung untuk membahas masalah pembangunan pabrik teh di sana," ucap seorang pria di seberang sana.

"Baiklah." Andreas menutup ponselnya. Ia merasa kepalanya terasa berat. Ia duduk bersandar di kursinya dengan kasar.

Tok
Tok
Tok

"Tuan ini saya Rohya."

"Masuklah," ucap Andreas.

"Tuan saya mau ijin ke bandung karena cucu saya sakit," ucap bi Rohya. Tadi dia menghubungi Naina dan cucunya sedang sakit.

"Baiklah kau boleh libur," ucap Andreas.

"Terima kasih tuan," ucap bi Rohya.

Andreas mengerutkan keningnya, semenjak kapan bi Rohya memiliki anak setaunya bi Rohya tidak memiliki anak.

Keesokan harinya.
Seorang wanita berdiri mondar-mandir sambil menunggu kedatangan seseorang. Wanita itu sejak tadi khawatir karena bi Rohya masih berda di perjalanan pulang. Dia takut terjadi sesuatu di jalan.

Dia menoleh saat mendengarkan suara mobil berhenti. Dia pun bergegas menghampiri mobil tersebut yang ia yakini bi Rohya dan ternyata dugaannya benar.

"Bibi."

Naina memeluk bi Rohya. Wanita itu begitu senang melihat majikannya kembali.

"Bagaimana kabar nyonya?" Tanya bi Rohya.

"Jangan panggil nyonya, panggil saja Naina biar kita lebih akrpa. Naina menganggap bibi sebagai orang tua Naina."

Bi Rohya mengusap pipi Naina. "Bagaimana keadaan Gisel?"

"Demamnya sudah turun," jawab Naina. Dia pun membawa koper bi Rohya.

Wanita setengah baya itu menuju ke lantai atas, kamar Giselle. Dia membuka pintu kamarnya dan di suguhkan dengan warna biru. Ruangan berwarna biru dengan gambar Elsa. Giselle banyak cerita bahwa dia begitu menyukai sosok Elsa yang kuat. Dia memeriksa keningnya dengan punggung tangannya.

Giselle merasa ada yang menyentuhnya keningnya dan membuka kedua matanya. "Nenek." Dia beranjak dan memeluk bibi Rohya.

"Giselle kangen Nenek."

"Iya sayang, Nenek juga kangen Giselle."

"Apa kepalanya sakit?" Tanya bi Rohya. Giselle menangis dan mengatakan bahwa kepalanya sakit.

"Sudah mendingan."

"Giselle tidur lagi ya, nanti saja lanjuti ngobrolnya sama Nenek."

"Iya Nek."

Bi Rohya menepuk tangan Giselle yang berada di atas perutnya hingga gadis kecil itu pun tidur. "Malang benar nasib mu, Sayang. Ayah mu lebih menyayangi anak orang lain dari pada anaknya sendiri." Dia begitu melihat Andreas begitu menyayangi dan mencintai Ayna. "Seharusnya di masa kecil mu kau bahagia bersama dengan ayah mu. Kau memiliki keluarga yang utuh."

Naina yang mengintip di sela pintu dan mendengarkannya merasa panas hatinya dan sakit. Air matanya mengalir, ternyata Andreas sudah memiliki anak dan mungkin dia benar-benar telah di lupakan.

"Naina."

"Bi."

Bibi Rohya melihat Naina berdiri di depan pintu. Dia tau wanita itu menangis dan mungkin mendengarkan ucapannya. Dia pun menutup pintu kamar Giselle.

"Bibi ingin bicara dengan mu."

Di sinilah bibi Rohya dan Naina, dia berada di depan teras sambil melihat kendaraan berlalu lalang di sela-sela pagar dan gerbang besi. Rumahnya berada di dekat jalan raya dengan halaman luas dan di depannya ada pohon mangga.

"Kau masih belum melupakan tuan Andreas?"

"Bagaimana kabarnya?" Tanya Naina balik bertanya. Dia tidak ingin menjawabnya.

"Dia baik, pernikahannya dengan nyonya Amira bahagia. Mereka mengadopsi seorang anak perempuan."

"Mereka pasti bahagia kan?"

"Sudah saatnya kau bahagia Naina dan melupakannya."

Air mata Naina jatuh, ternyata hatinya masih menyimpan luka. Ucapan yang begitu menyakitkan memang sangat sulit di lupakan.

"Aku akan berusaha melupakannya Bi."

Benih Rahasia Mantan SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang