🌷3. Yang Tersembunyi🌷

5.7K 1.3K 211
                                    

Tatapan mengabur.
Tangis melebur.
Harapan yang hancur.
Bolehkah aku mengatakan semua ini karena terlalu mencintaimu?

-Ra-

*****

Alara menghabiskan sepanjang perjalanan menuju pusat kota dengan memandang bentangan alam indah yang tersaji. Menatap sungai yang berkelok terlihat seperti sutra putih panjang sembari memikirkan bagaimana rasanya saat tubuh Alara terseret arusnya yang terkenal deras, terutama di musim penghujan.

Telah lima tahun Arash mengajak Alara pindah ke kota itu. Salah satu kota besar yang letaknya terbilang unik karena berada di dataran tinggi.  Kota yang terkenal karena udaranya yang dingin hampir sepanjang tahun.

Alara mengingat, Arash mengajaknya pindah ke kota itu setelah diterima di  perusahaan kontruksi ternama yang salah satu cabang terbesarnya ada di kota itu. Ia mengingat betapa senangnya Arash karena terus mengatakan akhirnya bisa memberi Alara tempat yang benar-benar layak.

Karena itulah, alih-alih memilih salah satu rumah dari kantornya yang terletak di pusat kota, Arash justru membeli sebuah rumah di kluster perumahaan cukup ternama yang letaknya lumayan jauh dari pusat kota. Mereka harus berkendara selama hampir dua puluh menit dalam kecepatan aman untuk sampai di perumahaan yang memang terletak di dataran yang lebih tinggi dari kota. Hampir di mendekati kawasan taman nasional pegunungan daerah itu.

Jarak itu setara dengan apa yang mereka dapatkan. Udara yang lebih bersih, suasana yang lebih hening dan pemandangan indah terhampar. Arash tahu, Alara tak pernah nyaman dengan keramaian atau orang-orang baru. Wanita itu mudah lelah dan menarik diri. Karena itu, Arash memilih tempat di mata dia bisa memberikan  ruangan yang dibutuhkan Alara.

Jalanan berkelok dan menurun dari daerah perumahan mereka menuju kota di daerah bawah, masih termasuk jalur yang aman meski ditempuh saat hujan seperti ini. Beberapa bagian  jalan yang langsung berbatasan dengan tebing justru membuat Alara bisa melihat sungai indah di bawahnya.

Dulu, saat mereka beberapa kali bisa pulang lebih cepat dari kantor, Alara akan meminta Arash berhenti di tepi jalan, hanya untuk melihat pemandangan hutan dan sungai.

Melihat sungai itu mengingatkan Alara pada Arash. Pada pria yang menjadi suaka atas segala luka dan trauma masa kecilnya.  Alara benar-benar merasa hilang arah sekarang. Hilang arah dan kelelahan. Beruntung bahwa, Amara memberinya waktu untuk hanya berdiam diri tanpa harus melakukan percakapan apapun.

*****

"Orang tidak bersecerai seperti itu? Berpelukan? Gila. Itu pasti menyakitkan sekali."

Alara tetap diam. Ia mengabaikan setiap kata yang keluar dari bibir Amara. Bibir yang juga terus terisak untuknya. Jika seperti ini, Amaralah yang terlihat baru bercerai, bukan Alara. Karena ia sendiri lebih banyak diam. Tubuhnya terasa lemah sekali. Rasa pusing menderanya kembali. Andai tak sadar diri telah menumpang, Alara akan meminta Amara untuk pulang saja.

"Al, kamu tidak apa-apa?"

Alara baru sadar telah bersandar di meja makan saat mendengar pertanyaan dari Amara.

"Tak apa," balasnya lemah.

Amara mengusap pipinya yang telah bersimbah air mata. Gadis itu tak gampang menangis. Sulit malah. Air mata tanda kelamahan bagi Amara, tapi melihat apa yang terjadi antara Arash dan Alara membuatnya sakit sekali. Dia benci kenyataan tak bisa menjadikan salah satu dari mereka menjadi penjahat dalam kisah ini. "Kamu yakin aku tak sebaiknya menelepon Arash? Saat kamu sakit, kamu tak bisa jauh darinya."

Icy  FlowersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang