🌷6. Warna Penuh Luka🌷

5.3K 1.2K 232
                                    

Kamu adalah warna-warna.
Dalam duniaku yang penuh lara.

-Ra-

*****

Arash datang ke bengkel Omnya saat saat matahari sedang bersinar dengan terik. Pemuda itu masih menggunakan seragam sekolahnya. Para pekerja menyapa Arash, tapi seperti biasa, hanya senyum kaku tak bersahabat yang diberikannya sebagai balasan.

"Kenapa kamu ke sini?"

Om-nya telah memasukkan Arash ke sebuah lembaga  les sepulang sekolah. Meski kehidupan mereka kini sulit dan bengkel kecil itu menjadi satu-satunya sumber pendapatan, tapi sang Om berusaha agar pendidikan Arash terjamin.

Meski dia gagal dalam kehidupan, pria yang tetap terlihat gagah di pertengahan empat puluhan itu, ingin Arash hidup lebih baik darinya. Bukan hanya sebagai penebusan dosa, tapi kasih yang tak terbatas untuk Arash.

Karena itulah dia berjuang mati-matian agar Arash tetap bisa menempuh pendidikan di sekolah terbaik di kota mereka. Membekali Arash dengan segala pengetahuan yang dulu dimilikinya sebelum terjebak dalam kubangan lumpur kegagalan.

Arash harus bernasib berbeda. Arash tak boleh hidup seperti dirinya.

"Kamu tidak pergi les?" tanyanya lagi. Meski terkenal pendiam, pada Arash, pria itu selalu bersikap perhatian. Tak pernah berani meninggikan suaranya.

"Aku keluar."

Om-nya langsung menoleh. Melepas alat las yang tadi hendak digunakannya.

"Keluar? Apa maksudmu dengan keluar? Ada satu minggu uji coba. Jika kamu mengerti dengan penjelasan tutornya, Om akan melunasi pembayaranmu."

Arash mengeluarkan amplop dan menyerahkannya pada sang Om.

"Apa ini?"

"Uang ganti biaya pendaftaran yang Om sudah serahkan pada lembaga."

"Om tidak butuh uang ini. Om hanya mau kamu belajar di sana."

"Yang mereka ajarkan di sana sudah kupelajari semua di buku."

"A-apa?"

"Di sana hanya akan membuang waktu dan uang. Yang diajarkan sudah kuketahui semua."

"Bagaimana bisa? Itu tempat les terbaik di kota ini. Tutornya orang-orang terpilih."

"Buku-buku bekas yang Om bawakan, sudah kubaca semua. Buku yang dari sekolah dan perpustakaan juga. Jika dipelajari sungguh-sungguh, tidak butuh tutor lagi."

Omnya hanya menatap Arash dengan wajah tercengang. "Lalu dari mana uang ini?"

"Teman-temanku."

"Teman-temanmu? Kamu tidak punya teman."

Arash hampir meringis. Fakta itu membuatnya terdengar menyedihkan, padahal dia tak peduli.

"Kamu meminta teman-temanmu memberimu uang? Atau kamu memaksa mereka? Om tidak meminta Zakir mengajarimu tinju untuk memalak teman-temanmu."

Icy  FlowersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang