18. Perjuangan

297 33 9
                                    

.

.

.

.

.

.

Suasana di dalam kedai cheese tea terasa kelam. Shotaro memutuskan untuk menutup kedai itu, dan kini hanya tersisa tiga orang di sana. Shotaro, Eunseok, dan juga Wonbin. Wonbin terus mengeratkan pelukannya pada Shotaro yang sedang terisak. Sedangkan Eunseok diam, Ia paham bagaimana perasaan sang senior yang ia hormati ini. Bayangan Sungchan masih belum bisa lepas dari kepala Shotaro. Bahkan rasa tidak enak karena menolak cintanya pun masih membekas yang membuat dirinya menyalahkan diri sendiri.

"Bukan salah kakak." Wonbin masih terus menggumam kata-kata penenangnya ke yang paling tua. Tatapannya masih mengkhawatirkan bagaimana keadaan Shotaro yang amat sangat merasa terpuruk.

"Kak, jangan ngelamun dong." Teguran Wonbin buat Eunseok terdistraksi dari lamunannya. Ia bukan melamun, melainkan..

"Aku lagi mikirin, siapa yang nyebar gosip ga enak itu.." Wonbin hanya mengerjapkan matanya bingung. Tangannya bahkan masih sibuk mengusap punggung Shotaro yang masih bergetar.

"Kakak kenal?"

"Aku ga yakin. Aku ga mau fitnah orang dulu" Wonbin paham kalau Eunseok bukan orang yang sembarang menuduh. Ia pasti akan memilih untuk diam dan mengamati sekitar agar semuanya bisa terjawab dengan jelas.

Karena Shotaro sudah sedikit membaik, mereka bertiga pun pulang ke tempat masing-masing. Shotaro pulang ke rumahnya, sedangkan Wonbin pulang diantar oleh Eunseok. Rumah Wonbin mungkin sedikit lebih jauh dari kostnya, Tapi Eunseok ingin sekali mengetahui lokasinya.

Keduanya masih terdiam, hanya suara pijakan kaki yang menemani mereka dalam perjalanan pulang ke rumah Wonbin. Belum ada yang berani mencairkan hening, namun Wonbin mencoba untuk buka mulut..

"Aku.. baru kali ini.. pulang selarut ini.."

"Oh? biasanya pulang jam berapa?" Tanya Eunseok dengan tatapan yang santai dan datar.

"Sebelum jam 6." Lagi-lagi langkah kaki yang terus mengisi keheningan mereka. Wonbin pun sedikit malu untuk memulai perbincangan.

"Kakak ga takut?" Eunseok hanya tertawa kecil sambil berjalan menendang kerikil yang di hadapannya.

"Biasa aja."

"Aku takut kak.." Wonbin masih terus berusaha untuk membuka obrolan agar perjalanan pulangnya tidak semakin menyeramkan. Wonbin benar-benar berterimakasih banyak pada Eunseok untuk hari ini.

"Yaa itulah kenapa Tuhan menciptakan orang pemberani.. untuk melindungi penakut." Eunseok menjawab dengan kekehan khasnya. Wonbin sadar kalau Eunseok meledek dirinya. Tidak kesal, namun tangannya memukul perlahan yang lebih tua. Yang dipukul hanya nyengir lebar.

"Nanti.. kakak gimana?"

"Aman, aku bisa sendiri kok." Tatapan yang tua pun meyakinkan agar yang muda tidak perlu khawatir. Wonbin hanya tersenyum, ia merasa aman jika Eunseok sudah menatapnya seperti itu.

Perjalanan pulang semakin mencekam ketika lampu jalan di depan tidak menyala. Wonbin hanya bisa mendekat pada yang tua dan mencapit sedikit kain jaket yang Eunseok pakai. Gelap. Pikiran Wonbin sudah semakin kacau. Ia takut dengan kegelapan.

Grep

Tapi bukan saatnya untuk takut, Eunseok baru saja merangkulnya dengan erat. Wonbin hanya bisa kaget dan mencerna apa yang dilakukan oleh kakak tingkatnya itu.

"Ada aku. Ayo, jalan terus." Wonbin sudah tidak memikirkan apa-apa lagi selain bisa pulang ke rumah dengan cepat. Ia hanya bisa menyipitkan matanya, takut kalau ada sesuatu yang mengganggunya, takut kalau ia tidak bisa sampai ke rumahnya, takut kalau trauma itu kembali.

Memories (Eunseok x Wonbin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang