HARI x / JAM 00:00
Di saat kau sedang lelap tertidur, kami tengah terjaga.
Lebih dari itu. Kami tidak hanya terjaga. Kami aktif merenung, berpikir, dan berbicara. Kami duduk melingkar—atau, paling tidak, berada dalam jangkauan pandang satu sama lain—mengutarakan segala jenis ketidakmungkinan. Namun kami tidak bersenda gurau. Jauh dari itu. Kami justru tengah setia kepada kenyataan.
Dan ironis saat kau akan menemukan bahwa kami justru melakukan ini untuk menyatakan perang kepada kenyataan.
Banyak hal yang tidak bisa kita—kau, aku, mereka—lakukan di dunia nyata. Kau tidak bisa terbang. Aku tidak bisa membunuh orang. Dia tidak bisa mendapatkan nilai bagus. Mereka tidak bisa berhenti bicara. Selalu ada sebuah garis batas—entah itu hukum alam, hukum negara, hingga hukum adat—yang menyatakan apa yang boleh dan tidak boleh terjadi di dunia ini. Mereka menyebutnya 'norma'. Mereka menyebutnya 'realitas'. Ada banyak nama yang bisa dimuntahkan, namun intinya tetap satu—kita tidak pernah bebas dari kekangan, apa pun itu.
Dan kami muak dengan kekangan semacam itu.
Jika aku tidak salah, kami bukan satu-satunya. Puluhan, mungkin ratusan, atau bahkan ribuan, dan bukan tidak mungkin jutaan hingga miliaran, manusia ingin menyatakan perang terhadap batasan-batasan semacam ini. Namun sebagian besar tidak bisa. Apa yang terjadi? Mereka berandai-andai. Mereka membayangkan. Mereka bertanya, dan berusaha menjawabnya sendiri, dengan cara mereka sendiri, karena realitas tidak mengizinkan mereka mencobanya. Biasanya kita mengenal perandaian semacam ini dimulai dengan dua kata: bagaimana jika...?
Jika kau termasuk ke dalam kelompok orang yang bertanya seperti itu, selamat datang. Kau telah melewati saringan dari orang yang patuh terhadap hukum kenyataan dan orang yang ingin melawannya. Namun kita masih bisa menyaring lebih ketat lagi.
Ada sebuah senjata. Senjata ini telah digunakan para filsuf dan ilmuwan selama ratusan tahun otak mereka berjalan. Senjata ini membuka cakrawala, merumuskan hukum, menerjemahkan dunia, dan mengawetkan buah pikir orang-orang terhebat sepanjang masa. Senjata ini lahir karena mereka muak terhadap realitas, dan benar-benar menekuni kemuakan mereka—saking dalamnya hingga mereka bisa menjawab intisari dari realitas itu sendiri.
Senjata inilah tempat segala hal menjadi mungkin. Senjata inilah tempat semua pertanyaan bisa mendapatkan jawaban.
Bagaimana cara kita mendapatkan jawaban? Pertama, kita bertanya. Dengan pertanyaan yang benar, akan datang jawaban yang benar. Lalu? Kita mengamati. Observasi. Memerhatikan. Mendata. Berikutnya? Kita bereksperimen. Mencoba. Mencari kesalahan. Menguji. Barulah setelah itu kita menarik kesimpulan.
Kami yang terjaga, duduk dalam lingkaran, dan saling bicara inilah orang yang sedang berada pada tahap ketiga. Kami bertanya. Kami mengamati. Dan sekarang kami bereksperimen. Seperti filsuf-filsuf dan ilmuwan-ilmuwan ternama, kami mendobrak batasan kenyataan dengan senjata rahasia kita semua, senjata pembuka cakrawala, perumus hukum, penerjemah dunia, pengawet buah pikiran, dan penghancur paling mengerikan yang pernah ada di muka bumi: pikiran kita sendiri.
Imajinasi.
Dalam definisi yang lebih teknis, mereka menyebut kegiatan semacam ini thought experiment.
Kami adalah para eksperimenter pikiran. Kami adalah pencetus kemustahilan yang tidak menertawakan absurditas. Kami adalah orang-orang muak yang ingin kabur dari kekangan kenyataan. Kami meludah di mukanya. Cih. Pada titik ini, kenyataan tidak berlaku bagi kami.
Dan itu berarti kami tidak takut membunuhmu.
Lagipula, siapa tahu? Dalam matematika, selalu ada probabilitas segalanya terjadi. Mereka menyebutnya chaos theory. Setitik kecil perubahan pada awal akan menghasilkan perbedaan yang mahabesar seiring waktu.
Lagipula, siapa tahu? Mungkin saja pertanyaan dan ujian kami semua sudah terjawab di dunia nyata. Kami saja yang tidak mengetahui soal itu.
Lagipula, siapa tahu? Mungkin saja, orang yang berikutnya menyelami kenyataan tersembunyi ini, tidak lain dan tidak bukan, adalah dirimu sendiri.
Di saat kau sedang lelap tertidur, kami tengah terjaga. Dan ketahuilah, di saat kami terjaga, kamilah tuhannya—dan malam itu juga, seluruh dunia berubah sesuai kehendak kami.
Kami berkelana di tengah malam. Inilah jurit malam kami. Dan sekarang, ini adalah jurit malammu.
Selamat berjalan di tengah gelap. Kami menunggumu di ujung sana.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurit Malam: Benteng Gelap
Horror"Selamat berjalan di tengah gelap. Kami menunggumu di ujung sana." BUKU 1 JURIT MALAM. Perkemahan sudah menjadi tradisi bagi Program Studi Psikologi, sehingga ketika mereka berangkat, para mahasiswa baru tidak banyak berharap--rumor sudah menjawab b...