Catatan penulis: Saya mau minta maaf karena keterlambatan Bab ini. Tadi ada sedikit masalah RAM pada komputer saya. Sekarang sudah lebih baik.
Untuk yang kesekian kalinya, terima kasih karena masih bertahan. Saya akan menyelesaikan novel ini malam ini nanti, tunggulah. :)
Selamat menikmati.
***
HARI 2 / JAM 04:20
Rizkia benar-benar tidak ingin mati.
Ia bisa merasakannya dengan jelas—sensasi mengerikan yang dulu ia rasakan sekali saat ia kerasukan waktu masih SD. Buku-buku jarinya terasa kaku. Ia merasa masih berada di dalam tubuhnya, tetapi ia tidak tahu apa yang menggerakkannya.
Ia tahu ia bersama teman-temannya, tapi ia merasa diawasi.
Rizkia tidak berani membuka matanya, karena ia tahu bahwa jika ia membukanya, ia akan langsung bertemu muka dengan yang mengawasinya.
"Berhenti!" teriak Rizkia kepada si pengawas misterius. "Pergi! Aku tidak mau mati! Jangan dekati aku!"
Si pengawas tidak bereaksi. Rizkia tahu dia tidak pernah bereaksi. Tetapi, bahkan walaupun dengan mata tertutup, Rizkia tahu bahwa dia tersenyum melihat gelagat Rizkia.
Si pengawas tidak pernah cuma mengawasi. Dulu, dia juga mengendalikan tubuh Rizkia. Kali ini, Rizkia bertekad melawan.
Tetapi ia tidak bisa.
Rizkia menangis lebih keras. "Tolonglah," mohonnya. "Aku tidak mau mati."
"Kaubicara apa, sih?" kata sebuah suara samar dari dekat Rizkia. "Kami tidak akan melakukan apa-apa!"
Rizkia tahu bahwa suara itu berasal dari dekatnya—kira-kira sedekat tiga puluh sentimeter, jika perkiraan Rizkia benar—tetapi gaungnya membuat sumber suara itu terasa seakan-akan ia sejauh tiga puluh meter. Suara itu sangat dekat, tetapi sangat jauh. Rizkia tidak bisa menyentuh suara itu.
Si pengawas sudah menyentuhnya terlebih dahulu.
Rizkia menjerit saat merasakan jari-jari dingin si pengawas mencengkeram lengannya, lalu bahunya, lalu tengkuknya. Dia bahkan tidak berkata apa-apa—dia cuma semakin dekat, dan semakin dekat lagi, kepada Rizkia.
"Riz, bangun!"
Rizkia tidak bisa.
Jeritan Rizkia tercekat mendadak, dan gadis itu membuka matanya.
Langit mendadak tampak sangat aneh. Sejak kapan matahari bersinar di tengah malam? Tunggu—sejak kapan matahari ada tiga? Empat? Lima? Enam?
Matanya terasa penuh dengan matahari-matahari yang bersinar beriringan dengan bintang-bintang dan malam yang gelap, dan si pengawas tertawa.
Berani-beraninya, pikir Rizkia geram.
Akhirnya Rizkia bangun dan berhenti menangis. Selama sekejap mata, ia melihat dirinya kembali di Pendopo Makan—ia mengambil sebuah garpu.
Garpu yang masih ada di kantongnya.
Si pengawas sudah menanti di depan Rizkia. Ia tidak bisa melihat jelas bentuk si pengawas ini, tetapi ia tahu bahwa gumpalan hitam di depannya adalah si pengawas. Ia sudah terlalu familier dengan perasaan ini—perasaan diawasi dan dikendalikan.
Sekali sudah cukup. Rizkia muak.
Maka Rizkia menyambar garpu di kantongnya. "Pergi kau!" serunya marah kepada si pengawas. Rizkia menghujamkan garpunya ke kepala si pengawas, menembus daging lunaknya, menembus tulang-tulangnya yang Rizkia tidak tahu ada, menembus urat-urat menyebalkannya—
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurit Malam: Benteng Gelap
Horror"Selamat berjalan di tengah gelap. Kami menunggumu di ujung sana." BUKU 1 JURIT MALAM. Perkemahan sudah menjadi tradisi bagi Program Studi Psikologi, sehingga ketika mereka berangkat, para mahasiswa baru tidak banyak berharap--rumor sudah menjawab b...