BAB SEPULUH

3.3K 588 58
                                    

Catatan penulis: Saya akan berangkat pulang kampung tanggal 17 nanti. Perjalanannya akan makan seharian, dan Wattpad tidak berjodoh dengan ponsel saya. Sehingga, ada kemungkinan bahwa besok--iya, besok, tanggal 16--saya akan menamatkan Benteng Gelap. Jadwal publikasi yang biasa, antara jam 7-8 pagi, adalah untuk Bab hari itu; publikasi malam, mungkin di jam yang sama malam itu, untuk Bab berikutnya: Bab terakhir.

Senang berkelana di jurit malam ini dengan Anda. Jika Anda juga senang, jangan lupa klik tombol bintang kecil di akhir Bab. :)

Terima kasih, dan selamat menikmati.

***

HARI 2 / JAM 03:41


Setelah berjalan sekitar enam menit, mereka masih belum menemukan apa-apa.

Jalan ke bawah sangat lancar. Sebenarnya, andaikan ada tali, Chika akan lebih memilih menggunakan tali seperti yang tadi diusulkan oleh Gerry. Masalahnya, tali itu menjadi abu beserta Pendopo—dan itu adalah tali terakhir yang mereka punya.

Akhirnya hanya ada tiga senter, tujuh garpu, dua pisau, dan satu kotak P3K yang sekarang dipeluk erat oleh Chika.

Chika tidak berani mengantongi pisaunya. Ia sangat bisa membayangkan pisau itu tidak sengaja menyobek kakinya apabila ia salah melangkah, atau sedang berlari, atau duduk istirahat—yang pasti akan mereka lakukan nanti—dan dalam kondisi ini, Chika tidak berani mengambil risiko.

Jangan lupa untuk tidak menjadi manusia.

Chika mulai merasa yakin bahwa itu tidak akan lagi jadi masalah baginya. Pada titik ini, Chika sudah sangat jenuh hingga ia sendiri tidak tahu menjadi manusia itu seperti apa.

Liyana.

Yang ia tidak pernah harapkan adalah cepatnya segala peristiwa terjadi semenjak kebakaran di parkiran. Saat ia menyadari ada mayat di toilet, segalanya masih berlangsung dengan perlahan ... mencekam, bahkan. Tetapi semenjak kebakaran di parkiran panitia....

Indah.

Chika masih ingat jelas saat mendadak ada jebakan setrum, yang entah datang dari mana, di tenda di seberang tendanya. Lalu ada tenda terbakar. Seakan-akan ia melihat tangan yang dibacok tidak cukup.

Wawan.

Dan ternyata memang tidak cukup. Setelah melihat teman-temannya menjadi manusia-manusia bakar, Chika tidak yakin lagi berapa banyak cara mati dan cara siksa yang sebelumnya tidak terbayangkan olehnya ia saksikan langsung di depan mata.

Gerry.

Tangan terbacok. Leher disabet terbuka. Dibakar. Disetrum. Diracuni. Digigit ular. Dibuat berdarah perlahan-lahan. Dilubangi bola matanya. Ditiban oleh mayat yang berisi pisau. Diledakkan....

Kak Kresna.

Seakan-akan Chika bisa menebak yang akan terjadi berikutnya, ia tidak kaget ketika menemukan beberapa tong berapi dijajarkan rapi di tengah jalan, menghalangi arah gerak mereka. Tempat itu adalah sebuah pertigaan, dan mereka tidak punya pilihan selain berbelok ke kiri—kecuali, tentunya, jika mereka bisa menyingkirkan tong-tong itu. Mungkin mereka bisa mendorongnya, tetapi lalu apa? Mereka akan membuat tong-tong besi itu terus bergerak turun hingga lereng, dan mungkin saja mereka akan mengirimkan beberapa ke pemukiman terdekat dan memulai kebakaran besar. Kak Kevin sepertinya tidak tertarik pada ide itu, dan memutuskan berbelok kiri.

Aji....

Lucu. Di tengah-tengah mati rasanya, Chika malah mendapati dirinya menghitung maju teman-teman dekatnya yang sudah tercerabuti hingga ke akar. Dan di saat ia sedang tidak bisa merasakan emosi, ia malah memikirkan tentang orang itu.

Jurit Malam: Benteng GelapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang