BAB TIGA

4.8K 569 101
                                    

HARI 1 / JAM 21:30


KURANG AJAR!!

Jika Chika lebih tidak tahu situasi daripada ini, mungkin ia sudah butuh tempat untuk melampiaskan teriakannya yang tercekat di tenggorokan. Faktanya, hingga sekarang, Chika masih berusaha mengatur napasnya. Itu tangan. Itu tangan sungguhan.

"Kamu yakin?" tanya Liyana. Chika mengangguk cepat.

"A—glek—absolut."

Chika bukan satu-satunya. Di pojok tenda sana, Diana memandang tanah dengan ekspresi nelangsa, dikelilingi teman-temannya sendiri. Chika tidak ingat siapa pergi ke mana—selain Ita yang dikerubuti para fasilitator di luar tenda—namun ia berani bertaruh bahwa tidak ada yang berani kembali lagi ke tenda mereka.

Bahkan Rima pun tidak.

Dari sembilan orang—tunggu, delapan jika dikurangi si pemilik tangan ... dan tujuh jika dikurangi Ita—yang ada di tenda mereka, tidak ada lagi yang berani tetap di dekat-dekatnya. Kurang ajar. Itu tangan sungguhan.

Awalnya teriakan Ita tidak berpengaruh banyak kepada Chika selain membangunkannya dari tidur yang tidak bisa dikatakan nyenyak. Ayolah, aku butuh istirahat. Tapi jeritan itu tidak berhenti. Chika baru saja membuka mata untuk menegur Ita, tapi ternyata Indah sudah punya inisiatif itu.

Hmm. Bagu

Indah ikut menjerit. Chika menutup telinganya dengan kesal. Ada apa sih? "Ada apa sih?" gumamnya gusar. Tapi ia tidak mendapatkan jawaban. Malah, Indah mulai menyebut-nyebut Tuhan. Chika semakin kesal, namun tidak bisa memungkiri secuil penasaran. Ada apa sih?

Saat itulah Chika duduk dan mencari tahu. Saat itu juga Chika ikut menjerit.

Seorang Kakak Koordinator Lapangan sudah berlari tergopoh-gopoh ke tenda mereka sejak Ita pertama menjerit, sehingga untungnya bagi Chika, ia tidak perlu lama-lama menjerit atau melihat ... melihat itu.

Kurang ajar. Itu tangan sungguhan.

Tangan itu tidak terpotong dengan rapi. Chika baru sadar. Ia memang tidak bisa melihat bagian potongan itu sebelum Kakak Koordinator Lapangan itu tiba dengan sebuah senter, namun sekilas melihat dengan jelas sudah lebih dari cukup untuk menempelkan gambar itu di kepalanya. Potongannya berantakan—tidak seperti dipotong bersih sekali potong dengan pisau jagal atau gergaji. Lebih seperti siapa pun yang memotongnya menggunakan pisau yang tumpul dan menikam tangan itu terus-terusan hingga lepas.

Chika merinding.

Kurang ajar. Itu tangan sungguhan.

Liyana menutupi tubuh Chika dengan selimut dan memeluknya karena iba, tapi Chika nyaris tidak bisa merasakannya. Ia masih tidak bisa menyingkirkan gambar tangan pucat dengan pergelangan berdarah yang—

Chika menarik napas. Udara dingin yang mengisi paru-parunya semakin membuatnya gemetaran. Chika pernah membaca di sebuah media sosial bahwa tidur di tempat bersuhu dingin membuat seseorang cenderung lebih mudah bermimpi buruk. Apa itu yang sedang terjadi? Mungkin saja. Lagipula, berapa kemungkinannya Chika dan-kawan-kawan menemukan sebuah potongan tangan di tenda mereka dalam sebuah acara prodi?

Sebodoh apa mereka hingga tidak ada yang menyadari bahwa ada potongan tangan di tenda mereka? Bau darah harusnya sangat tajam, sangat menyengat, terutama jika jaraknya sedekat itu dengan jumlah sebanyak itu. Mengapa mereka tidak bisa menciumnya?

Mengapa Chika tidak bisa menciumnya? Diana terkena pilek dari sejak kabut turun waktu matahari terbenam, begitu pula Indah, sehingga masih wajar jika mereka tidak sadar. Chika tidak yakin soal Ita, tapi bahkan Ita tidak sadar bahwa ia sebegitu dekatnya dengan organ yang segar terpotong.

Jurit Malam: Benteng GelapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang