BAB SEMBILAN

3.6K 523 52
                                    

HARI 2 / JAM 03:00


Dhani tidak percaya ternyata perlu lebih dari setengah jam untuk membereskan Pendopo Makan.

Belum lagi salah satu panitia—siapa namanya, Kak Eka?—memanggilnya 'Mas-mas Velg' karena tadi Dhani yang melancarkan serangan skeptis terhadap mengganti ban angkot seenaknya. Paling tidak itu sebelum Pendopo kebakaran.

Pendopo....

Dhani telah terbiasa hidup sendiri dan tidak membangun hubungan berarti. Hidup itu keras, dan dia tahu itu dari pengalaman. Berpetualang, mencoba ini-itu ... bahkan hingga muncul masalah nyaris tak-teratasi dengan ayahnya.

Dhani telah terbiasa hidup tanpa keterikatan. Tetapi jika ada orang yang masih tidak bisa percaya bahwa Pendopo sudah terbakar habis, Dhani adalah orangnya.

Dia mengacak-acak rambut ikalnya dengan kesal sebelum ingat tangannya lengket dengan darah. Entah ini darah siapa. Dia sudah mulai kebas melihat mayat, mencium bau busuk, atau melihat orang-orang yang dulu dia kenal sekarang bergelimpangan tanpa nyawa ... oh, iya, dan mengangkat-angkat jenazah mereka kesana-kemari.

Hingga mereka semua selesai menyingkirkan orang-orang mati di Pendopo Makan, tempat itu masih berbau tajam darah dan kotoran. Rasanya ironis ketika mengingat Pendopo Makan menempel langsung dengan Dapur Bumi Kemah. Jelas tempat ini tidak bisa memancing nafsu makan siapa pun.

Sulit bagi Dhani untuk percaya bahwa baru empat belas jam yang lalu dia makan siang dengan lahap di sini.

Tetapi toh, semua orang tetap duduk di Pendopo Makan. Dhani bisa merasakan ada yang berubah. Tidak ada lagi aura ketegangan, tidak ada lagi aura antisipatif. Tidak ada lagi kesan mencekam—paling tidak, rasanya tidak sama lagi. Mereka semua tidak lagi menunggu. Mereka semua tidak lagi mau diam di tempat.

Mereka semua mau pulang.

"Oke, aku akan singkat saja," kata Kak Kevin. Entah mengapa, aura otoriternya mendadak lebih kental. Dia tampak lebih tegas dari sebelumnya, tetapi Dhani juga menyadari bahwa dia tidak lagi menggunakan saya. "Gali kenangan terburuk kalian dari sejak kebakaran."

"Untuk apa?" tanya Ita lesu.

"Karena itulah senjata si pembunuh," kata Kak Kevin akhirnya. Semua orang saling lirik dengan tidak nyaman. "Aku baru sadar saat ... yah, saat aku melihat Irsyad. Itulah mengapa si pembunuh mudah sekali membabat dua ratus sekian menjadi tujuh belas dalam kurang dari enam jam. Dia memanfaatkan diri kita saat sedang menjadi diri kita."

"Maaf, tapi ... aku tidak mengerti," sahut Kak Ando. "Apa maksudmu dia ... eh, apa tadi? Memanfaatkan kita saat menjadi diri kita?"

"Semua yang telah terjadi sejauh ini adalah sebuah permainan psikologi," kata Kak Kevin. "Eka sempat menyebutkan bahwa ada pola di pembunuhan-pembunuhan yang terjadi, tetapi aku tidak tahu pola itu bisa ditarik sejauh ini. Aku melihat bahwa ada manfaat baginya dalam setiap langkahnya, entah itu penghancuran ataupun pembunuhan. Apabila manfaatnya di penghancuran, berarti itu untuk membantu pembunuhan. Apabila manfaatnya di pembunuhan, itu untuk pembunuhan berikutnya."

"Aku paham sampai situ," kata Kak Ando lagi. "Intinya, dia mau membunuh kita semua. Yang aku tidak paham adalah yang kaumaksud senjata."

"Kita adalah bidak-bidaknya," kata Kak Kevin. Suaranya terdengar pahit. Ekspresi Kak Eka di sebelah Dhani sama pahitnya mendengar kalimat itu. "Dia adalah pemain catur tunggal, dan dia menggunakan semua bidak catur yang ada di papan untuk saling menghabisi."

"Tapi—" Kak Ando mengerut. "Kita tidak membunuh siapa-siapa, 'kan?"

"Tidak," kata Kak Kevin sambil mengangguk. "Kitalah yang dibunuh."

Jurit Malam: Benteng GelapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang