1 - Tentang Bintang

6 1 0
                                    

“Ibarat langit, malam terlalu gelap bila tak ada cahaya yang menyinarinya. Sama seperti hidup ini, tak ada kamu sama halnya menyaksikan kiamat secara perlahan”

_Bintang Ardhana_

💫

Terbangun karena mimpi itu sudah biasa bagi Bintang. Karena hampir setiap malam mimpi itu hadir lagi dan lagi, seolah tak mau benar-benar pergi. Entah sampai kapan.

Jam diatas nakas sudah menunjukkan pukul enam pagi. Pertanda, bahwa dirinya harus segera bangun lalu bergegas berangkat ke sekolah.

Tak memerlukan waktu lama, cowok berperawakan tinggi itu kini telah siap. Mengendarai motornya yang telah diberi nama Gino. Tak ada alasan khusus, karena Gino adalah satu-satunya kendaraan yang ia miliki sampai saat ini.

Motor berjenis ninja itu adalah kendaraan yang berhasil dibelinya dari hasil mengkredit sejak satu setengah tahun yang lalu, dan baru lunas bulan kemarin.

“WOY!!!  Tumben nggak kesiangan Lo?” Perjalanan Bintang mendadak dikacaukan dengan kedatangan dua manusia yang nahasnya adalah sahabat baiknya - Syafiq dan Ardelio.

“Gue bukan kalian yang tiap hari telat,” Respon Bintang menghempas lengan Ardelio dibahunya.

“Yailah, kita telat juga kan karena Lo bege,” Sahut Syafiq tidak terima.

“Bodo,” Pungkas Bintang mengambil langkah mendahului kedua sahabatnya itu.

“KALIAN CEPAT MASUK ATAU SAYA HUKUM?!” Mendengar itu, Bintang tersenyum kecil.

Alasan Bintang mendahului kedua sahabatnya itu, adalah karena sudah menduga bahwa bariton milik Pak Anton pasti akan segera menghantam pendengaran setiap siswa yang masih berkeliaran ketika lonceng sudah dibunyikan.

“Sialan Lo Bi,” Maki Lio  melemparkan tasnya asal.

“Salah sendiri nggak hafal-hafal,” Kata Bintang acuh tak sedikitpun merasa bersalah. Mendengar jawaban Bintang keduanya hanya bisa mendengus mengusap telinganya masing-masing.
“Kasian lama-lama sama kuping gue.”

Jam istirahat biasanya Bintang habiskan dengan bermain basket di lapangan outdoor. Cowok itu bukan tipe siswa pada umumnya yang memilih menghabiskan waktunya untuk nongkrong di kantin. Apalagi jika tujuannya hanya untuk mencari mangsa. Seperti yang sering dilakukan oleh Ardelio dan Syafiq.

“Udah kalik mainnya, nggak capek apa?” Pergerakan Bintang terhenti ketika Safira datang menyodorkan sebotol air mineral untuknya.

“Thanks.” Gadis itu hanya mengangguk menanggapi ucapan terima kasih dari Bintang.

“Oh ya, Kita semua diwajibkan ikut diklat,” Ujar Safira ketika keduanya sudah duduk ditepi lapangan.

“Wajib banget?”

“Ish. Gue kan tadi udah bilang W.A.J.I.B.”
Bintang terkekeh mengacak surai coklat milik Safira. “Gue bercanda kalik.”

“Seneng banget emang bikin gue kesel,” Dengus Safira cemberut.

“Jangan gitu. Kayak bebek.”

“Ih Bintang.” Bintang tertawa terpingkal ketika Safira menggelitikinya karena kesal. Bintang memang selalu sejail itu pada Safira yang menurutnya sangat lucu ketika marah.

Benar saja, apa yang dilihat semua orang selalu menimbulkan rasa penasaran. Pasalnya, Bintang yang dikenal secuek itu bisa sangat hangat apabila bersama sahabat-sahabatnya. Diluar itu Bintang hanya dikenal berkat ketampanan dan bakatnya saja.

💫

Semenjak memutuskan pindah dari kota itu. Bintang hanya tinggal seorang diri disalah satu rumah kontrakan yang terletak di perkampungan yang lumayan jauh dari sekolahnya.

Menempuh waktu sekitar 30 menit setiap harinya, sebenarnya cukup memakan waktu. Namun apa boleh buat, Bintang sudah terlanjur nyaman dengan pilihannya. Apalagi jika harus memutuskan pindah, akan ada biaya lagi yang harus ia keluarkan.

Mengingat ia bukan lagi anak yang masih bergantung pada kiriman orang tua. Semenjak tiba di kota ini, ia hidup mandiri dengan bekerja paruh waktu di cafe miliki orang tua Ardelio. Meskipun gajinya tak banyak, namun cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari.

"Sebenarnya kamu nggak usah kasih surat begini, Tante udah percaya loh Bi.”

"Hehe.. ya nggak papa Tante biar adil kayak yang lain.”

" Dasar kamu, dikasih enak malah mau yang ribet.” Bintang hanya bisa tersenyum ketika Sara mengusap kepalanya layaknya seorang ibu. Sosok figur yang selama ini selalu ia rindukan.

"Yaudah deh kalau gitu. Tante mau ada meeting.” Bintang kembali mengangguk.

Sepeninggal Sara, cowok itu menyederkan punggungya di tembok. Memejamkan matanya sejenak. Apalagi yang bisa ia lakukan ketika sekelebat kenangan itu kembali hinggap.

“Bi, dicariin juga ternyata disini.”

“Eh, iya mas ini gue mau  turun.”

"Yaudah buruan, udah pada ngantri tuh,” Pesan Mas Diko salah seorang senior ditempatnya bekerja.


💫

Terima kasih sudah membaca..
Sampai jumpa di bab selanjutnya..
Salam sayang dariku, untukmu..

indahsaf17

Bintang Untuk AiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang