BAB 07 : Harap yang jadi nyata

392 44 8
                                    

Jaga kesehatan selalu ya moyy, ukir lah kebahagiaan sebanyak mungkin. Karena dirimu sangat berhak mendapatkannya.

Terimakasih ya moy, terimakasih sudah selalu bersama dengan raa, raa senang sekali mengenal kalian, dan selamanya akan selalu begitu...

Terimakasih ya moy, terimakasih sudah selalu bersama dengan raa, raa senang sekali mengenal kalian, dan selamanya akan selalu begitu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°°°
"Meski hanya sebagai penyampai, aku sangat senang dapat membagikannya dengan mereka. Karena aku tau jika keindahan di dalamnya begitu besar hingga aku tak mampu untuk menjaganya seorang diri."

°°°

Cahaya Bulan nampak begitu hangat menyapa. Ditemani dengan ribuan bintang yang semakin memoles keindahan langit malam.

Hanya suara jangkrik dari kejauhan yang nampak memecah keheningan malam ini. Hawa dingin yang menerpa kulit tak mengindahkan lelaki dengan lengan yang memperlihatkan lukanya itu untuk masuk.

Ia tetap enggan untuk beranjak pergi dari tempatnya. Kenyamanan balkon kamarnya benar-benar melupakan ia dengan luka lengannya yanng belum sama sekali tersentuh cairan obat.

Matanya yang sayu menatap lembut ke arah rembulan yang seolah-olah tengah menatapnya balik. Tak ada satupun suara yang keluar dari mulutnya. Namun, batinnya terus beradu menceritakan tentang hari ini pada sang Rembulan.

"Kak?" suara panggilan dari arah belakang membuyarkan semua lamunannya. Ia menoleh, menatap sang bunda yang sudah berdiri di belakangnya memegang sebuah kotak yang ia tahu benar jika kotak itu berisi obat-obatan.

Wanita paruh baya itu menghembuskan nafas panjang, ia mengusap lembut pipi sang putra saat tubuhnya sudah duduk manis di hadapannya. "Kaka kenapa belum tidur?" tanyanya dengan suara sangatlah lembut.

Lelaki dengan kaos hitam itu tak menjawab, ia hanya mengeluarkan senyuman kecil. Membuat wanita paruh baya itu menghembuskan nafas kasar.

"Buna kan sudah sering bilang, jika luka seperti ini harus segera diobati, jangan dibiarkan terus kak." Lelaki  itu tersenyum manis, tangannya dengan lembut mencegah tangan sang ibu yang akan menyentuh lengannya.

"Asa gapapa kok Buna, ga sakit sama sekali." Wanita paruh baya itu tak mempedulikan ucapan sang putra, ia menarik tangannya dengan lembut mencoba beralih pada obat-obatan yang ia bawa.

Tahu jika apa yang terjadi setelahnya, ia menggeleng. Mencoba merampas obat-obatan itu dari tangan Mahyra.

"Abang!" peringat Hyra dengan mata yang menatap tak suka pada putra sulungnya itu. Yang ditatap justru terkekeh kecil, ia meletakkan obat-obatan itu pada meja kecil di sampingnya. "Asa nggak butuh ini Buna."

Bocil untuk Angkara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang