BAB 02 : Amanah sang kapten

2.6K 216 65
                                    


Halo moyy, kabar bagaimana? sudah senyum belum hari ini? jangan lupa senyum yaa..

Hati-hati selalu dan jangan lupa bersyukur juga!

Hati-hati selalu dan jangan lupa bersyukur juga!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°°°

Amanah itu terlalu besar, begitu hina jika kami harus melanggarnya.

°°°

Suara gelak tawa sangat mendominasi keramaian para remaja yang tengah menghabiskan malam mereka untuk bersenang-senang di bangunan yang terlihat begitu megah nan misterius itu.

Namun, tawa mereka sontak lenyap saat salah satu temannya yang tengah berada di luar berlari masuk dengan terburu-buru dan terlihat begitu panik.

"CK, BERESIN! BOS BESAR DATENG!"

Mendengar inormasi yang begitu mendadak mereka terima. Membuat jantung mereka mencelos. Bertanya-tanya apa kesalahan mereka hingga membuat beliau datang ke sini dengan begitu mendadak.

Mereka sontak berdiri, berniat membersihkan semua bungkus makanan dan minuman mereka.

Namun, mereka kalah cepat dengan tembakan pistol ke dinding yang sontak membuat mereka mematung di tempat.

Jantung sebagian dari mereka berdebar kencang. Begitu takut dengan kedatangan beliau yang begitu mendadak.

Seorang pria paruh baya dengan dua pengawalnya itu sudah berdiri di depan pintu dengan wajah yang begitu datar namun menyiratkan kemarahan di dalamnya.

"Saya tau diantara 869 anggota kalian, ada yang telah melanggar peraturan yang sudah kami sepakati," ucap pria paruh baya itu yang nampaknya tak mau berbasa-basi terlebih dahulu.

Mendengar hal itu, sontak netra mereka saling beradu. Banyak pertanyaan yang muncul di benak mereka.

"Dasar tidak becus! memegang satu janji saja kalian tidak bisa! begitu memalukan!" hina pria itu yang membuat sebagian tangan mereka mengepal, menahan gejolak kemarahan yang tiba-tiba saja datang tanpa permisi terlebih dahulu.

"Atas dasar apa anda berbicara seperti itu, komandan?"

Tatapan yang tadi menunduk ke bawah itu, sontak beralih memandang ke arah pintu. Tepat di belakang tiga orang tamu mereka.

Lelaki tinggi dengan jaket hitam yang bertuliskan "Satu nyawa beribu raga." yang telah resmi menjadi slogan mereka sejak perkumpulan itu dibangun, melangkah maju dengan satu Arum manis yang telah dibungkus rapi di tangan kanannya.

Bocil untuk Angkara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang