Suara ketukan pada meja kayu itu terdengar nyaring di ruangan sepi nan kedap udara ini. Seorang gadis cantik, putih dan manis duduk diatas kursi kebanggaannya, kursi ketua OSIS. Dirinya hanya berada sendiri di ruangan itu, karena teman-temannya sudah memilih keluar terlebih dahulu untuk kembali melanjutkan pelajaran yang sempat tertunda karena rapat.
Awalnya Maira, sang ketua OSIS ingin kembali juga ke kelasnya tapi setelah di pikir-pikir rasanya tidak perlu. Waktu selesai rapat dan waktu pulang sekolah hampir mepet, jadi ia hanya berdiam diri saja di ruangan itu sampai tiba waktunya lonceng berbunyi tanda pulang.
"Karena omongan Adel, gue jadi kepikiran buat nanya sama kak Meira," gumam Maira disela-sela ia memainkan bolpoin di tangannya.
"Tapi gue terlalu takut."
Tubuhnya mendadak lesu saat berpikir ingin mendekati kakaknya yang sedingin kulkas itu. Maira bingung, tapi jika tidak bertanya ia akan selalu dihantui rasa penasaran.
Lama berkutat dengan pikirannya sendiri, lonceng pertanda pulang pun berbunyi. Maira tersenyum sebentar, ia berdiri dari duduknya dan merapikan beberapa kertas berisi laporan di atas meja. Saat merasa sudah rapi, dirinya lantas berjalan keluar untuk mengambil tas nya di dalam kelas.
Diperjalanan dirinya bersenandung kecil untuk mengisi kekosongan yang melanda, sesekali bibir itu tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman kala murid SMANRA menyapanya.
Hal yang lumrah yang selalu ia alami, menjabat sebagai ketua OSIS membuat dirinya sedikit terkenal di kalangan murid-murid SMANRA. Karena keahlian di bidang akademik maupun non-akademik, tak jarang juga ia menjadi kebanggaan SMANRA.
Saat sudah berada di depan pintu kelasnya, Maira langsung memusatkan perhatiannya pada seorang gadis berambut sebahu yang tengah merapikan beberapa bukunya di atas meja, tampaknya gadis itu tidak mengikuti pelajaran juga tadi terbukti dari Jersey basket yang masih melekat ditubuhnya.
Maira berjalan, mengambil tasnya yang berdekatan dengan gadis itu. "Zeeya, lo baru selesai latihan kah?" tanya Maira, berhasil mengejutkan Zeeya.
"Astaga, Maira, gue pikir siapa tadi," ucap Zeeya mengelus dadanya sebentar.
"Hehe, maaf, Zeeya," cengiran singkat ia tunjukan pada Zeeya.
"Iya, gue tadi habis selesai latihan," jawab Zeeya kemudian. Maira hanya mengangguk sembari tangannya sibuk memasukkan buku dan kotak pensilnya ke dalam tas.
"Ra, gue duluan, ya? Mau ke kelas Meira sama Adel soalnya," pamit Zeeya yang sudah menyampirkan tas di bahu kanannya.
"Gue ikut." Zeeya mengangguk menyetujui. Keduanya akhirnya berjalan keluar kelas berdua, menuju ke lantai dua dimana kelas Meira dan Adel berada.
•
•
•
Apakah ia harus berterima kasih kepada Zeeya dan Adel nanti? Karena merekalah, Maira akhirnya bisa berjalan beriringan dengan Meira-kembarannya.
Tadi, saat Maira dan Zeeya sudah berada di depan kelas temannya, Christian datang bersama Adel yang tengah ngos-ngosan karena berlari. Christian mengatakan jika pelatih mereka menyuruh untuk berkumpul di lapangan, alhasil Zeeya langsung berpamitan dengan Maira tanpa menunggu Meira keluar terlebih dahulu.
Disela-sela mereka berjalan, Maira terus memperhatikan wajah kakaknya dari samping. Wajah itu terlihat datar dan tak berekspresi sedikitpun, Maira yang melihatnya merasa sedikit takut. Walaupun begitu, jauh di lubuk hatinya rasa takut itu terkalahkan oleh rasa penasaran yang ia miliki.
"Kak," Maira memanggil Meira pelan. Gadis yang dipanggil itu berdehem, membuat jantung Maira tiba-tiba berpacu lebih cepat dari biasanya.
"Maaf kalau aku lancang, apa kakak akhir-akhir ini sering mimisan? Kakak sakit? Kenapa nggak pernah ngasih tau aku?" tanyanya beruntun dengan sekali tarikan napas.