Mentari yang indah memang selalu menjadi hal favorit untuk dipandang dengan mata telanjang. Hamparan rumput hijau yang ada di taman menjadi satu kesatuan yang sangat apik pada pagi ini.
Di sudut taman yang berukuran tak terlalu luas, seorang pria bertubuh tak terlalu besar tengah mengajari anak perempuannya bermain sepeda. Berkali-kali tawa bahagia dari ayah dan anak itu terdengar. Membuat siapa saja akan iri ketika melihatnya.
Berbeda dengan gadis kecil yang tengah duduk sendirian di ayunan, dirinya seperti tak terlihat oleh ayahnya. Matanya sesekali melirik pada ayah dan adik kembarnya. Ingin sekali dirinya menghampiri mereka, ikut bermain dan tertawa bersama.
"Papa, Maira nggak bisa, jangan di lepas dulu," Jeritan itu terdengar di telinga Daniel yang tak jadi melepaskan tangannya pada sepeda kecil milik sang anak.
"Papa, aku juga mau diajarkan bermain sepeda seperti Maira," Suara itu menghentikan kegiatan Daniel. Dirinya memberhentikan sepeda kecil itu dan menyuruh Maira untuk turun sebentar.
"Saya tidak ingin mengajari kamu. Kamu sudah besar dan bisa belajar sendiri. Sana, ambil sepeda satu lagi dan jangan mengganggu saya." Ucapan yang seharusnya tak terlontar itu membuat Meira menunduk pelan.
"Tapi ... Aku ingin diajarkan oleh papa. Aku tidak bisa sendiri," jawabnya dengan suara kecil.
"Itu resiko kamu sendiri."
Kalimat yang menyakiti hati itu membuat Meira menunduk dalam. Dirinya harus sadar diri bahwa keinginannya ingin dekat dengan ayahnya tidak akan pernah bisa. Tidak seperti Maira yang selalu mendapat perhatian sang ayah.
Baru saja kaki Daniel ingin melangkah, namun tangannya langsung di tarik oleh tangan kecil Meira membuat dirinya hampir menjatuhkan Maira dari atas sepeda.
"APA LAGI, MEIRA? KAMU HAMPIR SAJA MELUKAI PUTRI KECIL SAYA. DASAR ANAK BODOH!" Emosi Daniel memuncak. Meira yang mendengar suara lantang sang ayah tentu saja terkejut.
Maira berjalan mendekat ke saudari perempuannya, memeluknya sebentar dan mengusap punggungnya supaya tidak menangis. Ayah nya memang benar-benar tidak berperasaan, padahal Maira tidak jadi terjatuh.
"Papa nggak boleh gitu, kakak juga berhak diajarkan sama papa. Aku akan marah kalau papa marahin dan suruh kakak pergi lagi. Papa jahat!" Sekali lagi, setelah berucap kalimat itu Maira kembali memeluk tubuh kakaknya yang mulai menangis.
"Ini semua karena kamu, anak penyakitan!" Dengan tak berperasaan Daniel menarik tangan kecil milik Meira yang berusaha menahan sakit akibat cengkraman itu.
"Papa jangan hukum kakak lagi, papa jahat!" Maira berteriak, mengejar langkah cepat Daniel yang langsung masuk ke dalam rumah.
Ilona yang tengah berada di dapur langsung berlari kecil untuk melihat keributan yang terjadi. Dirinya terkejut manakala tangan anaknya di tarik paksa oleh suaminya sendiri, Daniel.
"MAS, KAMU UDAH GILA, YA? JANGAN SIKSA ANAK AKU!" Ilona berteriak. Menghentikan suaminya yang terus membawa Meira ke lantai atas.
Daniel membuka kamar milik Meira, mendorongnya ke dalam sana hingga terjatuh ke atas lantai yang dingin. Ringisan kecil terdengar saat kepala gadis kecil itu terbentur oleh ujung lemari kayu.
"Jangan pernah keluar dari dalam sini sampai hukuman kamu selesai. Saya tidak akan memberi kamu makan dan minum hingga pagi datang. Ingat itu!"
"Kenapa papa jahat sama aku?" Sederet kalimat itu terucap dengan tangis yang masih belum reda.