Setelah selesai makan, mereka bertiga kini duduk bersisian menikmati gemilir angin yang menerpa wajah mereka.
"Aku dengar-dengar dari anak Osis yang lain kayaknya hari ini kita jamkos deh," ucap Meira yang menatap ke langit cerah dengan kedua tangannya menjadi penyanggah berat badannya.
"Bagus deh kalau gitu, aku gak perlu nguras otak lagi karena pelajaran," balas Adel singkat. Gadis tomboy itu memainkan batu kerikil kecil yang ia temui di atas rooftop tadi.
Lama terdiam, Zeeya yang tidak suka akan kesunyian membuka mulutnya untuk memulai percakapan antara dirinya dengan kedua temannya.
"Ra, Del, kira-kira masa depan kita nanti gimana, ya?" tanyanya yang langsung mendapat respon fisik dari kedua temannya.
Meira yang awalnya mendongak langsung menatap intens ke arah Zeeya, begitupun Adel yang berhenti menggerakkan jemarinya memainkan kerikil kecil itu.
"Kenapa tiba-tiba nanya gitu?" tutur Meira dengan menaikkan sebelah alisnya.
"Nggak tau," Zeeya membalas dengan gedikan di kedua bahunya. "Pertanyaannya tiba-tiba aja muncul di pikiranku dan gak ada salahnya aku nanya ke kalian berdua." Sambungnya cepat.
"Yaa ..., palingan di masa depan nanti gak ada yang berubah dari kita. Yang pasti kita tetap bersama dan gak boleh terpisah." ucap Adel dengan sumringah di ikuti oleh Zeeya yang juga menyetujui pernyataan dari temannya itu. Namun, berbeda dari kedua temannya Meira malah tampak terlihat murung seperti tidak yakin dengan ucapan Adel barusan.
Melihat perubahan di wajah salah satu sahabatnya membuat Adel dan Zeeya lantas saling tatap, seperti berbicara lewat kontak mata.
"Kamu kenapa, Ra? Kenapa tiba-tiba sedih? Ada hal yang kamu sembunyiin dari kita, ya?" tanya Zeeya pelan, memegang bahu temannya yang tampak meluruh karena menghembuskan napas lelah.
"Ak-aku gapapa kok, benar apa yang di bilang sama Adel. Kita bakal terus bersama, selamanya." ucapnya terpaksa tersenyum dan memelankan kalimat terakhirnya.
"Pasti. Kita pasti bersama, selamanya. Sampai maut memisahkan, iya 'kan, Zee?" sahut Adel dan di balas anggukan oleh Zeeya.
Tanpa aba-aba Zeeya langsung memeluk tubuh Meira dari samping, membisikkan sesuatu yang membuat gadis itu tersenyum lebar mendengarnya. "Aku, kamu dan Adel akan terus bersama. Jangan khawatir, ya, Ra."
Terima kasih tuhan, terima kasih Zee. Perilaku kamu ke aku selalu membuat aku merasa dilindungi dan dihargai. Maaf jika salah menaruh perasaan berlebih pada mu. Batin Meira berucap.
"Makasih, Zee." Zeeya yang mendengarnya mengangguk senang.
"Ihh, pelukannya berdua aja, aku juga mau ikut," Adel mengerucutkan bibirnya ke depan, membuat Zeeya yang tengah memeluk Meira langsung merentangkan tangannya. Alhasil mereka berpelukan dengan Meira yang berada di tengah.
"Aku beruntung punya kalian!" ucap Meira.
"KAMI JUGA BERUNTUNG PUNYA KAMU, RA!" teriak keduanya kompak setelahnya mereka tertawa bersama. Tawa mereka bisa membuat manusia lain yang melihatnya akan terbawa suasana.
Hebatnya pertemanan mereka membuat ketiganya tidak bisa di lepaskan bak anak kembar. Semoga selalu begini dan seperti ini.
0o0Di ruangan bernuansa putih itu terdapat seorang dokter dengan kedua pasiennya yang saling duduk berhadapan. Nampak kegelisahan pada raut wajah gadis muda yang duduk di sebelah wanita paruh baya.