1.2

304 46 3
                                    

Sesuai janjinya, Lan Xichen menemui anak itu sepulang sekolah. Dia dengan sabar menunggu di depan gerbang. Beberapa orang yang tidak sengaja melihatnya menyapa. Lan Xichen hanya bisa membalas sapaan mereka satu-satu dengan senyuman.

Bertepatan saat itu, Lan Wangji juga baru saja selesai dari kelas. Dia menatap sang kakak yang berdiri di depan gerbang dengan bingung. Tidak biasanya dia berprilaku seperti itu. Apa tengah menunggu orang?

Berjalan mendekat, Lan Wangji menatap dengan bingung sang kakak. Yang ditatap hanya mengulas senyum tipis.

"Ada apa? Apa kau ingin memelototi aku juga hari ini?"

"Aku?" Lan Wangji menyebut dirinya sendiri. Dengan wajah datar, dia menunjuk kakaknya. "Tanya pada dirimu sendiri. Apa yang tengah kau lakukan?"

Lan Xichen melihat jari adiknya yang ditunjukkan padanya. Dia dengan lembut menurunkan tangan sang adik. Ini semua salahnya mengapa dia bisa berakhir di sini. Namun sepertinya Lan Wangji tidak tau hal tersebut.

"Aku sedang menanggung kesalahanmu."

Lan Wangji memiliki wajah yang datar dan terlebih, tidak ekspresif. Meskipun dia seperti tidak merubah satupun raut di wajahnya. Namun hanya Lan Xichen yang bisa melihat bahwa wajah adiknya menjadi buruk. Tidak terima dan seolah mengatakan; 'Jangan melantur, apa yang telah ku perbuat sampai kau terkena imbasnya?'

"Ceritanya panjang."

"Jangan berbohong."

Lan Wangji sanksi. Dia baru bersekolah selama seminggu. Bahkan sebelumnya, saat dia masih di bangku SMP, dia adalah murid teladan dengan nama bersih. Jangankan masalah, nilai jelek saja enggan untuk mendekatinya.

"Apa aku terlihat seperti pembohong?" Lan Xichen berkata dengan begah. Dia mendorong adiknya menjauh. "Pulanglah, kau hanya menghambat ku."

"Hei... Kak! Tunggu dulu! Jelaskan dulu!"

Lan Xichen menggeleng, menolak menjelaskan untuk sekarang. Dia mendorong adiknya sangat jauh bahkan hampir keluar jalur sekolah.

"Aku jelaskan. Tapi nanti."

Lan Wangji mendongak dengan wajah penuh tanya. Namun bukannya mendapat jawaban, dia malah di dorong kuat sampai hampir terpental ke depan.

Sang kakak, sang pelaku utama yang mendzolimi adiknya. Hanya mengulas senyum dan melambaikan tangan.

"Pulanglah dan hati-hati. Katakan pada ibu bahwa aku akan sedikit terlambat."

.
.
.

"Aku pikir kau akan kabur." Jiang Cheng menatap ke arah Lan Xichen. Begitupula sebaliknya, Lan Xichen tengah menatap ke arah anak yang kini telah berganti gaya rambut. Sebelumnya dia mencepol bulat rambutnya dengan rapi. Namun sekarang itu hanya ikat kuda yang tidak terlalu tinggi. Di tangannya terdapat dua tas.

"Kenapa lama sekali?" Tanya Lan Xichen. Sebab semua anak sekolah telah habis. Hanya anak ini saja yang keluar terlalu lama. "Kau memang sekolah dengan dua tas?"

Jiang Cheng mengangkat salah satu tas yang bewarna merah hati.

"Maksudmu ini? Ini milik saudaraku. Aku terlambat karena dihadang oleh dia."

Lan Xichen mengangguk saja sebagai respon.

"Kenapa kau harus membawa tasnya?"

Jiang Cheng melenggang melewati Lan Xichen. Dia kemudian menenteng satu tas di depan dan satu di belakang. Dengan malas memutar leher untuk menatapnya yang tertinggal di belakang.

"Dia itu tukang bolos. Hari ini dia membolos lagi. Jadi aku harus membawa tasnya pulang."

"Ohh..."

"Apa lagi yang kau lakukan? Ayo cepat jalan! Nanti es krim nya habis."

Lan Xichen mengangguk menanggapi responnya. Anak ini... Benar-benar tidak sabar. Terlebih lagi selama perjalanan menuju tempat. Sebab Lan Xichen tidak tau dimana dia membeli es krim yang dia idam-idamkan itu sebelumnya. Maka dia membiarkan anak ini memimpin jalan. Hanya saja, karena terlalu bersemangat, dia berjalan terlalu cepat.

"Hei tunggu dulu! Pelan-pelan saja."

Jiang Cheng memutar badan. Dia jalan di tempat dengan tidak sabaran.

"Jangan terlalu lama! Varian rasa yang aku inginkan itu best seller! Selalu cepat sekali habisnya."

Lan Xichen memutar mata. Dia menatap dada anak tersebut. Memperhatikan name tag yang berada di sana.

"Sabarlah Wanyin. Jika kamu memang terburu-buru, seharusnya kita naik sepeda motor saja tadi."

Jiang Cheng mendengarkan nama panggilan untuknya merasa aneh. Tidak pernah ada yang memanggilnya begitu sebelum ini. Sebab dia lebih dikenal dengan Jiang Cheng. Bahkan jika seseorang membaca name tag nya, mereka tetap akan memanggilnya dengan Jiang Cheng.

Namun masa bodo. Memangnya mereka akan bertemu lagi setelah ini?

"Ayolaaah! Kita ini masih di bawah umur! Kau pikir polisi lalu lintas akan membiarkan kita? Lagipula kenapa lelet sekali sih."

Jiang Cheng memperhatikan langkah kaki Lan Xichen dan kesal sendiri dibuatnya. Dia berjalan mendekati pemuda itu. Setelahnya mendongak untuk menatapnya - tinggi mereka berbeda lumayan jauh - kemudian meraih tangannya. Tindakannya itu berhasil membuat sang empunya bingung. Namun setelah beberapa saat, dia diseret paksa.

"Kalau kau tidak mau lari! Aku akan menyeret mu!"

"Ah! Aduh, tunggu dulu! Jangan berlari seperti ini!"

Lan Xichen mencoba menyelaraskan langkah. Dia menatap ke arah pemuda yang berlari dengan tampang serius. Seolah mereka tengah berlomba. Dan mereka tengah berjuang untuk garis finish.

Anak ini... Benar-benar ajaib.

Hanya untuk sebuah es krim. Dia rela berlari dengan dua tas di punggungnya. Meskipun larinya tidak terlalu cepat. Tapi Lan Xichen menghargai usahanya. Terlebih, karena hal itu juga; dia terlihat seperti kura-kura.

Lihatlah dua tas yang terlihat berat di depan dan di belakangnya itu. Melihatnya saja Lan Xichen merasa pundaknya pegal.

"Berhenti."

Lan Xichen menahan langkahnya hingga bocah itu terjungkal ke belakang. Matanya melirik sinis.

"Ada apa lagi?!"

"Berikan tasnya."

"...hah?"

"Berikan satu tasnya. Itu terlihat berat. Aku akan membawakannya untukmu."

Jiang Cheng mendengus sebal. Dia tidak banyak berbicara. Segera setelahnya melepaskan salah satu tas dan memberikannya pada Lan Xichen.

"Ini tasku, itu lebih ringan dari tas Wei Wuxian."

Lan Xichen menerimanya saja. Toh mana yang lebih berat sebenarnya tidak berpengaruh. Hanya saja dia merasa seperti melihat seekor kura-kura berlari dengan dua cangkang berat di tubuhnya. Itu sedikit agak membuatnya kasihan.

"Baik."

Dia menunggu sebentar. Setelah dilihatnya Jiang Cheng selesai memakai tas di punggungnya. Dia menggenggam tangan anak itu. Tanpa aba-aba, menariknya berlari. Membuat sang empunya terseret karena tidak bisa menyamai langkah.

"Aduh! Pelan-pelan!"

"Kau berlari sangat lambat. Kupikir karena keberatan membawa barang. Rupanya memang tidak pandai berlari ya?"

Jiang Cheng tau dia tidak meledek. Tapi kesannya terasa seperti dia tengah meledek. Dia tidak terima seseorang berkata sesuatu yang tidak bisa dia kuasai. Dengan kesal, dia mempercepat langkah kakinya.

"Kita lihat siapa yang tidak bisa berlari!"

Ttalgi | XichengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang