2.1

219 32 2
                                    

"Terima kasih karena sudah mengantar A-Cheng pulang. Tidak mau mampir dulu, Xichen?"

Jiang Yanli berdiri di depan pintu. Binar matanya terlihat khawatir. Hari sudah senja dan malam akan datang dalam beberapa menit lagi.

"Setidaknya tinggal lah sebentar. Kita makan malam bersama."

Lan Xichen menggeleng. Dia mengusap rambutnya, membuat surai halusnya berantakan. Bingung untuk membuat alasan apa yang cocok untuk menolak. Pada akhirnya dengan canggung berkata, "Tidak, aku tidak bisa mampir. Ibuku akan khawatir. Aku tidak mengabarinya terakhir kali dan dia marah padaku."

"Kalau begitu kabari dia dari telepon. Atau, berikan nomornya, aku akan mengabari ibu mu."

Lan Xichen menggeleng lagi. Merasa kesulitan sekarang. Dia sudah menolak dengan alasan A dan di balas balik dengan kalimat yang tepat.

"Tidak perlu... Aku sungguh ingin pulang."

Melihat bahwa Jiang Yanli tidak bisa memaksanya lebih lanjut. Wanita itu hanya bisa mengulas senyum.

"Tunggu, setidaknya bawa ini bersamamu."

Jiang Yanli menyerahkan sebuah jaket.

"Meskipun sekarang musim panas. Tapi angin malam terkadang sangat buruk. Setidaknya terimalah ini, maka aku akan tenang."

Lan Xichen menerima jaketnya. Membalas kekhawatiran Jiang Yanli dengan sebuah senyuman.

"Terima kasih, aku akan mengembalikannya nanti."

.
.
.

"Kamu pulang, kak."

Lan Wangji menyambutnya tepat setelah Lan Xichen datang. Mata bermanik kuning itu menatap jaket di tangannya. Alis sang adik langsung naik menjadi lengkungan tinggi.

"Kamu ke rumah Jiang Wanyin ya?"

"Kok tau?"

Lan Wangji melihat ekspresi bingungnya. Menunjuk ke arah jaket dengan warna ungu di tangannya.

"Itu, jaketnya ungu."

Lan Wangji hanya mengatakan kata 'ungu' dari bibirnya. Namun dia memikirkan bahwa dari sekian banyak warna, hanya warna ungu yang merupakan warna yang lengket dengan teman satu kelasnya yang merangkap sebagai adik Wei Wuxian. Tidak bisa dijelaskan secara detail mengapa dia menyatu dengan warna ungu itu, tapi yang jelas, jika itu ungu, itu adalah Jiang Cheng.

"Ah iya... Aku mengantarnya pulang."

"Mn, sungguh nona muda."

Mereka saling menatap dalam canggung.

"Sudahlah lupakan, aku ingin mandi dan bersiap makan malam."

Lan Xichen menepuk bahu adiknya dan pergi menuju kamarnya. Meninggalkan Lan Wangji yang menatap punggungnya.

"Mereka lebih dekat dari dugaanku?"

.
.
.

"Lan Xichen."

Suara samar-samar datang dari telinganya.

"Lan Xichen."

Lagi, suara itu bergema seperti mimpi indah yang tidak pernah menjadi nyata.

"Lan Xichen!!"

Tubuhnya di senggol keras dan kesadarannya ditarik kembali ke tubuhnya. Lan Xichen menatap dengan marah ke arah Lan Wangji yang mendorongnya. Tapi anak itu malah biasa saja dan menggerakkan matanya dengan cepat.

'Kamu lihatlah ke sana! Kenapa melihatku?!'

Lan Xichen akhirnya menatap ke arah Ibunya yang sudah sangat khawatir. Wajah ibunya mengkerut, dia menaruh lauk baru di piringnya.

"Apa yang kamu pikirkan? Mengapa melamun?"

Lan Xichen menatap wajah cantik itu dengan lamat. Menggeleng dengan canggung dan menerima lauk yang diberikan olehnya.

"Aku... Tidak memikirkan apapun, ibu."

Sebenarnya, apa yang sangat mengusikku?

.
.
.

"Aku datang untuk mengembalikan ini."

Lan Xichen memberikan jaket yang dipinjamkan Jiang Yanli kepadanya semalam ke Jiang Cheng. Anak itu hanya diam saja, menerima jaket dengan helaan nafas yang sangat berat.

"Aku baru menyadari, tampaknya kamu sangat menyukai pakaian kebesaran dan panas seperti ini di musim panas?"

"Apa maksudmu?"

Lan Xichen memutari Jiang Cheng. Menelisik penampilannya dari atas hingga bawah. Merasa ada sesuatu yang salah tentang caranya berpakaian. Namun tidak dapat menemukan apa masalah yang harus diperdebatkan selain bahwa itu terlalu tebal untuk jenis pakaian saat musim panas.

"Tidak apa, biasanya melihatmu menggunakan seragam dengan kaos atau kemeja. Aneh rasanya untuk melihat gaya pakaianmu berubah dalam waktu singkat."

Jiang Cheng sangat malas mendengarkan komentar yang diberikan Lan Xichen untuknya. Mendorong anak itu menjauh dengan rasa dongkol di hatinya.

"Jangan berkata seolah-olah kau khawatir padaku."

"Loh? Bukannya aku sudah bilang dari kemarin ya kalau aku khawatir padamu?"

"Diam!!"

Lan Xichen tertawa saat dia di dorong ke depan dan hampir tersandung telungkup mencium lantai. Ternyata meskipun menyebalkan di awal, manis di akhir. Rasanya tidak sia-sia menghabiskan waktu bersama Jiang Cheng jika mereka selalu seperti ini.

"Aku akan diam sekarang. Tapi tidak lain kali."

"Pergilah, sial!"

"Hahaha okay."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ttalgi | XichengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang